SMS Gratis


Mungkin tertarik dengan sms gratis, aku coba copy widget tetangga sebelah. dicoba ajalah, kalau ga bisa nanti kan tinggal buang aja widgetnya.

Kalau mau tau linknya klik aja gambar yang bertuliskan SMS.

sih valid, karna aku sudah berulang kali menggunakannya kalau lagi perlu nge sms keindonesia. dan ini hanya bisa untuk wilayah indonesia saja.

04.20 | Posted in | Read More »

Bimbel mantiq sama gani


Mungkin kawan-kawan bisa belajar mantiq otodidak dengan cara mendengar ustad gani memaparkannya. semoga bermanfaat dan semoga juga bisa dimanfaatkan.
1-






2-






3-






4-






5-




23.35 | Posted in | Read More »

Bimbel mantiq sama gani


Mungkin kawan-kawan bisa belajar mantiq otodidak dengan cara mendengar ustad gani memaparkannya. semoga bermanfaat dan semoga juga bisa dimanfaatkan.
1-






2-






3-






4-






5-




23.35 | Posted in | Read More »

Istilah dalam ilmu mantiq

Mantiq = Ilmu Logika

Qiyas Burhani = Demonstrasi / Silogisme

Jins = Genus

Nau' = Species

Fashl = Deffrensia

Al-'Aradh al-Khâshah = Aksiden Khusus

Al-'Aradh al-Âm = Aksiden Umum

Rasm = Ciri Eksternal

Jauhar = Substansi

Tashawwur = Konsepsi (pengetahuan konseptual)

Tashdiq = Pengetahuan Relasional

Nazhariyah = Teori

Qadhiyyah = Proposisi

Al-Badahiyyat = A Priori/aksioma

Dhoruri = A Priori

Nazhori = posteriori

Musallamah = Aksioma

Kully = Universal

Juz'iy = Partikular

Itsbât = Affirmatif / Affirmasi

Nafyun = Negatif / Negasi

Al-Lâmutanâhi = Infinite

Azali = Infinite in the past

Abadi = Infinite in the future

Prima Pricipia = Prinsip-prinsip dasar dalam logika

Qanun adz-Dzatiyah = PI (Prinsip Identitas) A=A, A=/= ~A

Qanun adamu jam'un Naqidhaini = PNK (Prinsip Non Kontradiksi)

Qanun adamu raf'un Naqidhaini = PKN (Prinsip Keniscayaan Nilai)

At-Tanâqudh ad-Dâkhili = Kontradiksi internal

Wujud = Eksistensi/Entitas

Dzat = Zat

Shifat = Atribut/properti

Al-Wujûd al-Khâriji = Dunia Nyata/Realita/Dunia Kongkret

Al-Wujûd az-Dzihni = Dunia Konseptual / Alam Abstrak / Fakultas mental

Al-Qâim binafsihi = Eksistensi Independen

Al-Qâim bighairihi = Eksistensi Dependen

Bi Al-Quwwah = Potensional

Bi Al-Fi'li = Faktual

Wâjib al-Wujûd bi Dzâtihi = Entitas yang (Niscaya-Ada) secara independen (mandiri) atau Pure Existence

Wâjib al-Wujud bi Ghairihi = Entitas yang (Niscaya-Ada) karena faktor luar atau Actual/Necessary Existance

Mumkinul Wujud = Keberadaan oleh agen luar/ Contingent being/potential existence

Mustahil = Absurd

Nisbah/alaqah/idhafah = Relasi

Nazoriyatul Wujud = Ontologi (Teori tentang keberadaan)

Nazoriyatul Ma'rifah = Epistemologi (Teori ttng Ilmu Pengetahuan)

As-Sabru wat-Taqsim = Teori Eksplosi

Al-'Illah al-Ûla = Prima Causa

Sebab-Akibat = Kausalitas

Mutakallimun = Teolog Muslim

Al-Lâ adriyah (Sufsathoiyah) = Agnostisme

Kosmologis = Pandangan tentang alam semesta

Silogisme = Qiyas burhani (aristhi)

Jika A = B

Dan B = C

Maka A = C



Silogisme Konjungtif = Qiyas yang menggunakan qadhiyah syartiyah muttashilah

A --> B
~ B

~ A

Jika A maka B, Bukan B, maka bukan A


Silogisme Disjungtif = Qiyas yang menggunakan qadhiyah syarthiyah munfashilah

A v B

~ A

B

A atau B, bukan A, maka B


Premis Mayor = Mukaddimah Kubra

Premis Minor = Mukaddimah sugra

Tanda (~) = Negasi berarti tidak/non

Tanda (v) = Or/atau

Tanda (^) = Dan

Tanda panah (-->) = Maka

03.05 | Posted in | Read More »

Download Program

Oh iya, bagi kawan-kawan yang menginginkan program bisa didownload disini dan tinggalkan komentar sebagai tanda anda telah mengambilnya. Kalau ada yang tidak bisa karna ada sesuatu yang menggemboknya, silahkan tinggalkan pesan yah :)

1- Asbabun Nuzul (Buku Imam suyuti) Klik Download
2- Program Tasrif shorof. Klik Download 
Adapun screenshotnya anda bisa lihat gambar berikut ini
, dan cara menggunakannya juga mudah kok, dan ga sulit dan itu bisa membantu pekerjaan anda dalam mengajar bahasa arab, untuk nahunya menyusul.

03.19 | Posted in | Read More »

Berita Indonesia Di Twitter






































Berita Mesir


23.44 | Posted in | Read More »

Ilmu Mantiq Dalam Islam

Ilmu mantiq 4

11.55 | Posted in | Read More »

Ilmu Mantiq dan Perkembangannya

Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-, Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan kemudian ditarik sebuah konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan tertentu, logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya. Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani, bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya, Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika akan terus berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan pendekatan rasional. Hal ini tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang serba kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional. Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan dalam mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’ inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik dan takhayul menuju rasio.

Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23). Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk berfikir yang terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi di luar diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang membawa petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas (tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.

Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir dengan tepat harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika, apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai ‘kacung’ ilmu pengetahuan? Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen. Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya dari sisi pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu murni-independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah) bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena jika tidak demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu independen. Pembahasan panjang lebar terhadap ilmu pengantar inilah yang banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam perkembangan selanjutnya, hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan ilmu perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak hukum berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah atau yang benar.

Logika dan Perkembangannya

Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap argumen dapat diuji keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan argumen yang baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam pembacaan ini, penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan logika yang diusung Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru yang berupa dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan tersebut. Kesalahan penyimpulan ditemukan ketika tidak menggunakan hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan perangkat metode berpikir yang rasional.

Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar klasik dan modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal modern. Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan ‘thing’ (sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu sehingga akan muncul pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang kemudian dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan. Baru sekitar abad ke-2 M bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu kalam dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang digunakan di Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah tertata rapi disertai peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang banyak dapat dikatakan sebagai salah satu faktor berkembangnya logika Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat, banyak karya Aristoteles telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’ merasuki hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.

Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu, “Categoria Seu Praediecamenta(al-Maqqûlât), “Perihermenias Seu de Interpretatione(al-‘Ibârah), “Analytica Priora(al-Tahlîlât al-Ulâ), “Analytica Posteriora(al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis Communis(al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis(al-Safsathâ’i). Seiring dengan perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan, yaitu dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’ (al- Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ” Mafâtîh al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema tersebut. Lain halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang tidak mengkategorikan ‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.

Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun (masa penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani dimulai pada masa Khalifah al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah ‘Sang Hero’ pada masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal yang ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya dan mulai tersebar maka agama Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan kembali pada agama Yunani. Ilmu asing yang diadopsi Arab diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya telah diadopsi dari Madrasah Iskandaria.

Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains, termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi. Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai pengaruh penting dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir baik secara deduktif dan induktif.

Rasionalitas Eropa Klasik-Modern

Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat berbalik arah dengan perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani menghasilkan banyak pemikir dan filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo baru yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan. Aliran ini dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin “scholasticus” yang berarti “guru”). Tema-tema pokok dari ajaran mereka antara lain hubungan iman-akal budi, eksistensi dan hakekat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Dan pada masa ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah biara serta universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat internasional. Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana pendapat Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan, yaitu sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai tujuan puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat melampaui posisi agama. Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif sedangkan agama lebih ke imajinatif.

Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan abad Masehi (sekitar abad ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan abad (sekitar abad ke-13 hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M. Yang perlu ditekankan di sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik tolak pemikiran. Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki wilayah akal. Nah, hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam gereja. Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’ karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang naik daun sekaligus mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus. Penyelaman terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih fundamentalis. Karena banyak berlawanan dengan hasil konsensus gereja, maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah selanjutnya yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika, Rasional Latin dan Oxford.

Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan, karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dengan melepas subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman, bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil. Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat. Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja. Berbeda dengan pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah agama dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa filsafat Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan ‘kalimah’ yang menyatu dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi antara rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah, sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan kepada proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.

Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon (1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris” ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik fokus dari kenyataan.

Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis abad pertengahan (1596-1650 M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang berlawanan filsafat klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah pertanyaan klasik “apakah asal-muasal pengetahuan manusia itu?” diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu. Pengaruh besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman tentang fisik alam semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia- bekerja secara mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan dari sebab musabab mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak penjelasan teologis. Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis. Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.

Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa disebut masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke (1632-1704 M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di Jerman ada Immanuel Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme, empirisme dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai banyak aliran filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada satu negara dan kebudayaan.

Nalar Arab- Islam

Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari Yunani ke Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga yang berpendapat pada awal Daulah Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki wilayah Arab sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8 M. Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah asing. Namun, mantik dalam masa ini belum menemukan perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial masyarakatnya memang belum butuh atau aksi pencekalan oleh ulama salaf yang begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah mengatakan, bahwa ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab pada abad ke-7 M ketika masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.

Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas disebabkan karena hilangnya beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat ini banyak disangkal oleh sejarawan lain, karena justru pada masa sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang banyak berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari Basrah ketika itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak menggunakan rasio. Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi sosial politik Basrah yang terus berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan pertentangan dari tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik digunakan sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang cenderung kurang rasionalistik.

Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.) dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga berpartisipasi dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut menerjemahkan dari bahasa Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun 800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku Yunani, hingga wafatnya murid dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak membantu proses penerjemahan.

Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab. Orang-orang Nasrani ketika itu juga banyak membantu dalam proses penerjemahan, yang secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya dalam kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu, mantik menjadi pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya madrasah di Jundisapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan dari teks Yunani pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah lahir sarjana muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Ghazali dst.

Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai memberanikan diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang sekaligus mendapat persetujuan dari Khalifah al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya, termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan metode dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal silogisme. Pada saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan terus berkembang di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan logika menuntut cendekiawan muslim untuk lebih giat mempelajari mantik sebagai upaya dalam menjaga teologi Islam.

Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya Arab kurang lebih satu setengah abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk logika Yunani baru terjadi pada masa Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah. Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada pertengahan kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor positif yang terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di dunia Islam, di antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang memberikan kontribusi luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya, filsuf dan teolog muslim mempercayai akurasi dan kebenaran logika, bahkan sampai memasuki wilayah ketuhanan (metafisika). Kekaguman akan logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya mengenal segi-segi intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian mulai beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min al-Dhalâl.

Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika sosial masyarakat Arab, terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam sistem politik sekalipun. Mantik, pada masa itu juga digunakan sebagai piranti tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat membutuhkan sistem baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang diusung Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam, meskipun kontradiksi dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat praktis dan media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan ideologi. Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu langkah kesuksesan pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal menjadi primer demi mencapai tingkat keyakinan. Dan terakhir, bahwa logika dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk menyatukan berbagai ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber kebenaran dan pengetahuan.

Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik. Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat dihindari. Karena menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan mantik adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi’i banyak mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti mempelajari filsafat Aristoteles”. Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil istinbath hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum zindiq”. Sejatinya, masih banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang menyatakan pelarangan terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.

Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama Al-Ghazali (1059-1111 M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah timur hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini karena mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang dianut oleh aliran Stoicisme. Meskipun demikian, perlawanan terus berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M., muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’ terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat. Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.

Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia Arab melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd). Menurut Ibnu Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak berbicara logika serta menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali, maka tak heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak dalam bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai keislaman. Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin tampak, bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka mantik juga merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya, logika berperan sebagai timbangan untuk memutuskan yang baik dan buruk.

Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan sebagai pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam mantik, berakhirnya madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih dewasa, artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya sekitar ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada karya Aristoteles. Di sisi lain, sekitar 970-1030 M. muncul jamaah Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya di Basrah. Dalam logika, mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab Islam.

Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia dari abad ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style baru yang mulai terbebaskan dari filsafat. Ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat, Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik secara perlahan memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial. Karena logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem teologis dan filsafat saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat muslim untuk mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban komunal (fardhu kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik karya Ibnu Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian mantik sekaligus menjadi rujukan bagi para sarjana muslim abad ini. Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil yang tidak mengecewakan.

Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya

Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Tapi menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika kemasyarakatan. Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ’) karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam yang diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu: pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.

Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai masa melangsungkan kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan rasionalis sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa kurun waktu selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian metode pikiran dalam memahami soal-soal akidah, salah satunya adalah Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi mantik telah sempurna sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.

Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu mengatasnamakan akal. Model penalaran al-Asy’ari dapat dikategorikan sebagai ‘orthodox style’, karena lebih setia dengan teks suci agama dibandingkan dengan mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan filsuf kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai melakukan pendekatan ta’wil atau interpretasi metaforis terhadap kalam Tuhan, yang mereka anggap “mutasyabihât”. Nah, hal ini disebabkan kuatnya peranan unsur mantik serta dialektika. Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau teologi rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan filsuf saja yang mengedepankan nalar, tapi al-Asy’ari pun menggunakan argumen dan dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder. Metodologi alAsy’ari yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling mendapatkan simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian Al-Ghazali muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar biasa. Bisa disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah dari berbagai ekstremitas. Praktis, semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi inspirator orisinil bagi pemikiran keislaman. Sebagaimana pembahasan dalam teologi, pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dari ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan malaikat. Konsep ‘kasb’ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut al-Asy’ari, karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.

Kajian fikih berkembang pada saat peralihan zaman Umawiyah ke zaman Abbasiah, yaitu berdirinya “school of thought” oleh Abu Hanifah (699-767 M.) yang terbentuk dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam setiap ilmu. Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan pertimbangan kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi’i meneruskan tema aliran pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam tataran ini, Syafi’i sangat berjasa dengan teori yang dirumuskannya, sebagai dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai metode rasional untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus ulama (ijma’) juga diterima Syafi’i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat. Maka, titik tolak fikih berkat Syafi’i ada empat yaitu Kitab Suci, hadist Nabi SAW, ijma’ dan qiyas.

Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya sangat berperan penting. Kecenderungan pemakaian qiyas seiringan dengan munculnya gramatika dan kaedah bahasa, terutama oleh para ulama bahasa yang ada di Bashrah. Mereka lebih memilih mengkiaskan dengan metode sima’i terhadap dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath. Ketelitian dalam mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda halnya dengan ahli nahwu Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya selektif terhadap dalil-dalil yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak filsafat Persia yang lebih mengutamakan logika akal dari pada dalil. Adapun faktor lainnya, yaitu keterbatasan sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh dari pusat keilmuan dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang digunakan ahlu nahwu dalam pengambilan hukum, karena ternyata teori illat atau apologi juga banyak difungsikan.

Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang keilmuan yang telah disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada pengetahuan yang bertendensi iluminasi atau intuisi sekalipun, hal ini membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan selalu dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya. Tasawuf sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun menggunakan teori dan asas logika. Politik, sosial, kedokteran, aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan aturan berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun, kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak.

Epilog

Itulah sekelumit proses berpikir manusia, sebuah perjalanan panjang dalam rangka merelevansikan diri terhadap peradaban manusia yang tak kunjung usai. Bahwa rasional sejatinya irasional, karena bertolak dari sebuah pengandaian yang tidak dapat terpenuhi. Yaitu, segala sesuatu pastinya dapat dimengerti seseorang. Sikap rasionalis mencerminkan seseorang suka akan tantangan. Dikatakan seperti itu, sebab dia harus benar-benar memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya. Berbeda dengan irasionalis, yang menolak tantangan semata- mata karena keyakinan. Lawan rasionalisme adalah fedeisme, yaitu sebuah sikap yang membatasi diri pada iman, akal dan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap penggunaan nalar manusia tidaklah perlu. Sekalipun, mereka juga tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar merupakan ciptaan Tuhan.

Dengan sebuah historitas, mungkin kita akan sedikit mengetahui bahwa hantaman dan pengikisan mantik pada abad pertengahan adalah problematika terbesar, yang bahkan sama sekali tidak terpikirkan oleh Aristo sendiri sebagai pencetak awal logika. Dan yang patut dihargai adalah upaya akselarasi-akselarasi oleh ulama Islam sebelum di bawa ke Barat, yang setidaknya menjadikan metode ini mulai diterima. Bisa jadi perihal tersebut juga sedikit melegakan Aristoteles, bahwa ternyata masih ada pembela-pembela intelektual terhadap karyanya yang terseok-seok melawan arus peradaban terutama oleh para agamawan.

Kompleksitas yang dipresentasikan akal akan bertaut kelindan sampai suatu masa yang tak terbatas, boleh jadi akan menuju pada sebuah kesempurnaan misteri, bahkan sebaliknya. Tetapi apapun itu, akal tetaplah akal, yang telah menyumbangkan peradaban besar dari sejengkal langkah manusia.

11.10 | Posted in | Read More »

Script Forum Blog Spot

Mungkin banyak orang bertanya-tanya cara membuat forum di blogspot, nah, ini ada scriptnya, silahkan di copas yah

<a id="nabblelink" href="http://berbagi-ilmu.2314178.n4.nabble.com/">Berbagi Ilmu</a>
<script src="http://berbagi-ilmu.2314178.n4.nabble.com/embed/f4212264"></script>

14.59 | Posted in | Read More »

Qadafi 1

Serial mengungkap rahasia kelam sosok Qaddafi : Fir'aun, Toghut, dan Musailamah al-Kadzab dari Libya (1)

Arrahmah.com – Ketika kita mengatakan Moammar Qaddafi adalah taghut, diktator, gembong kekafiran, murtad, sekuleris, sosialis, pelanjut Musthafa Kemal Ataturk, Fir’aun, dan Musailamah al-Kadzab dari Libya, banyak kalangan terhenyak, kaget, dan kebingungan. Tidak sedikit pihak yang marah, benci, mengumpat, dan balas melemparkan tuduhan miring. Misalnya tuduhan antek NATO, antek AS, pro-Barat, teroris, fundamentalis, radikalis, Wahhabi, antek Saudi, dan seterusnya. Namun, tahukah Anda siapa sebenarnya Moammar Qaddafi itu? Berikut Serial Mungungkap Rahasia Kelam Sosok Qaddafi, bagian pertama.

Mereka hanya mengenal Qaddafi dari kegarangannya mengkritik rezim-rezim negara Arab yang memang boneka AS dan Barat. Mereka mengerti jati diri Qaddafi dari sesumbarnya untuk membebaskan Palestina, melawan AS dan Barat, atau menjatuhkan rezim-rezim diktator di negara-negara Arab. Mereka memahami sosok Qaddafi dari permusuhannya kepada AS, Barat, dan zionis Israel. Mereka mengenalinya dari julukan Barat kepadanya sebagai teroris, poros setan, pelopor revolusi di dunia ketiga, musuh Barat, anti Barat, dan julukan keren lainnya yang kerap menghiasi media massa. Sosok Qaddafi yang meledak-ledak lewat pidato berapi-api di pertemuan Negara Liga Arab, atau Majelis Umum PBB, itulah standar mereka memberikan pandangan SANGAT POSITIP kepada Qaddafi. Bagi mereka, Qaddafi adalah pahlawan dunia Islam.

Mereka tentu saja tidak banyak mengetahui kejahatan dan kekafiran Qaddafi yang dilakukannya secara terang-terangan, dan berulang kali, dengan penuh kebanggaan diri, tanpa rasa malu dan canggung sedikit pun. Mereka tentu saja tidak meneliti kejahatan dan pelecehan Qaddafi terhadap Allah SWT, Rasulullah SAW, Al-Qur’an, as-Sunnah, syariat Islam, dan ibadah-ibadah mahdhah dalam Islam. Mereka tentu tidak mengerti betapa lembaga-lembaga dakwah dan keilmuan Islam berskala internasional telah mengeluarkan fatwa dan himbauan serta dakwah kepada Qaddafi untuk bertaubat dari seluruh kekafiran yang ia telah lakukan. Mereka tidak mengerti, puluhan ulama dari berbagai negara telah memfatwakan kekafirannya.

Mungkin mereka juga tidak mengetahui, selama puluhan tahun masa kekuasaannya, ribuan muslim dan muslimah Libya telah mengalami penindasan luar biasa kejam dari Qaddafi. Mulai dari penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan, pemerkosaan, dan seterusnya. Aktivis dakwah dan jihad yang memperjuangkan syariat Islam dikejar-kejar dan ditindas. Banyak tokoh dan aktivis harus melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari kekejamannya. Selama 42 tahun masa kekuasannya, dakwah Islam mengalami masa-masa kelam.

Bagi penduduk dunia di luar Libya, boleh jadi mereka akan tertipu oleh penampakan lahiriah Qaddafi sebagai ‘pahlawan’ dunia Islam dan ‘musuh’ Barat. Namun jutaan bangsa muslim Libya menjadi saksi atas kekafiran, kezaliman, dan kebiadaban rezim taghut Qaddafi. Insya Allah, Arrahmah.com akan menurunkan Serial Mengungkap Rahasia Kelam Sosok Qaddafi, di antaranya mengulas sepak terjang kekafiran, kemurtadan, kezaliman, dan kebiadaban rezim taghut Qaddafi. Semoga dengan hadirnya serial tulisan tersebut kebenaran akan nampak jelas dan bisa dibedakan dari kebatilan. Wallahul musta’an.

Kita akan mengambil referensi penulisan dari buku karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Al-Libi, seorang ulama dan mujahid Libya yang berjihad fi sabilillah bersama mujahidin Libya (Jama’ah Islamiyah Muqatilah, Libya) melawan rezim taghut Qaddafi. Buku yang diterbitkan pada bulan Dzulhijah 1418 H (1997 M) tersebut diberi judul Qaddafi Musailamatul ‘Ashr (Qaddafi, Musailamah Kontemporer ) dan diberi kata pengantar oleh seorang ulama besar dan mujahid Libya, Syaikh Abu Mundzir As-Sa’idi Al-Libi. Sungguh sebaik-baik dan setepat-tepat sumber adalah para ulama Libya sendiri yang bertauhid, berdakwah, dan berjihad fi sabilillah, karena mereka puluhan tahun menjadi saksi langsung atas seluruh kekafiran dan kekejaman Qaddafi.

Qaddafi : Anak zina, ibunya wanita Yahudi

Moammar Qaddafi dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1942 M di pedusunan padang pasir dalam wilayah Sirte. Ia berasal dari suku Qadadafah, sebuah suku nomaden yang hidup berpindah-pindah di gurun pasir kering dan hanya tinggal di tenda. Karakter Badui yang keras, dan temperamental inilah yang kemudian mewarnai corak kekuasaan Qaddafi.

Nasabnya dari jalur ayah dan ibunya diperselisihkan oleh berbagai sumber di kota kelahirannya, Sirte. Namun semua sumber tersebut sepakat menyatakan Qaddafi adalah anak hasil perzinaan. Ibunya adalah seorang wanita Yahudi. Adapun ayahnya diperselisihkan oleh berbagai sumber tersebut. Sebagian sumber menyatakan ayahnya adalah seorang pedagang eceran berkewarga negaraan Italia. Sumber lainnya menyebutkan ayahnya adalah pembantu dari pedagang Italia tersebut, yang mengaku bernama Muhammad Abu Niyar Qaddafi. Semua penduduk kota Sirte mengerti asal usul keyahudian ibunya, sehingga sejak kecil Moammar Qaddafi terkenal dengan julukan ‘anak Yahudi’.

Moammar Qaddafi menjalani kehidupan penduduk badui yang keras. Meski demikian, ia mampu mengenyam bangku sekolah dan masuk Akademi Militer Benghazi pada tahun 1963 M. Sebelum lulus dari akademi militer, pada tahun 1965 M ia juga menambah pendidikannya dengan masuk Universitas Libya, Fakultas Adab jurusan sejarah. Di fakultas inilah, dosennya seorang warga negara Italia mengenali nasab ke-Yahudi-an Qaddafi dari jalur ibunya. Maka ia menggembleng Qaddafi untuk merealisasikan tujuan-tujuan zionis Yahudi di kemudian hari.

Qaddafi lulus dari akademi militer pada tahun 1965 M, dan bertugas di korp sinyal. Pada tahun 1966 M ia dikirim ke Inggris untuk mengikuti pendidikan (kursus) intelijen dan militer tingkat tinggi. Dari Inggris, Qaddafi mulai menjalankan rencana-rencana yang telah digariskan oleh tuan zionis Yahudinya dengan membentuk Tanzhim adh-Dhubbat al-Wahdawiyyun al-Ahrar (organisasi rahasia para perwira indipenden dan kebebasan). Organisasi perwira militer inilah yang melakukan ‘sandiwara’ kudeta militer pada tahun 1969 M.

Sandiwara kudeta militer Qaddafi dan pengusiran militer Barat

Ketika berusia remaja, Qaddafi sangat mengagumi Presiden Mesir, Jamal Abdun Nashir dan menganut ideologi sosialis nasionalis, yang membuatnya benci dengan bentuk pemerintahan kerajaan seperti yang berlaku di Libya saat itu. Jamal Abdun Nashir adalah taghut represif yang sangat sekuleris, sosialis, anti syariat Islam, dan menindas gerakan dakwah Islam. Pada masa kekuasaannya, ribuan aktivis Islam dan ulama yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin ditangkap, dipenjara, disiksa secara keji, dan beberapa di antaranya dihukum mati. Padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka hanya menuntut penegakkan syariat Islam di Mesir dan membantu jihad rakyat muslim Palestina melawan penjajah zionis Israel.

Sejak mengenyam pendidikan di akademi militer Bengazhi, rupanya pandangan sosialis-nasionalis Khadafi yang anti kerajaan, mulai disalurkan dalam wujud nyata. Ia mulai mengumpulkan rekan-rekan calon perwira yang sejalan dengan ide-idenya. Hal itu berlanjut dengan pembentukan organisasi rahasia para perwira indipenden dan kebebasan saat kuliah militer lanjutan di Inggris. Sudah tentu, sejak saat itu Inggris mulai berperan besar mengarahkan pemikiran dan langkah-langkah Qaddafi pada masa yang akan datang.

Tiga tahun setelah pulang dari pendidikan militer lanjutan di Inggris, tepatnya, 1 September 1969, saat usianya menginjak 27 tahun, Qaddafi melancarkan kudeta ‘damai’, menggulingkan Raja Idris yang saat itu tengah berada di Turki untuk melakukan pengobatan. Dipimpin Qaddafi, para pengkudeta ini menahan Putra Mahkota Sayyid Hasan ar-Rida al-Mahdi as-Sanusi yang masih keponakan Raja Idris, sebagai tahanan rumah. Para pengkudeta lantas memproklamasikan Libya sebagai negara republik, menggantikan kerajaan.

Selama ini, kekuatan zionis-salibis internasional mengembangkan dua tipe pemerintahan di dunia ketiga, utamanya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim. Pertama, rezim diktator yang pro Barat dan anti rakyat. Mereka mengendalikan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tangan besi, menindas rakyat, dan menjalankan arahan tuan besar AS dan Barat. Terkadang pemerintahan dijalankan dalam bentuk monarchi, tapi lebih sering dalam bentuk negara republik-demokrasi. Tipe inilah yang paling sering dipakai oleh AS dan Barat. Mayoritas negara Arab, Afrika, dan Asia Tenggara termasuk dalam tipe ini.

Kedua, rezim diktator yang secara lahiriah memamerkan sikap anti-Barat, anti-zionisme dan imperialism, pro rakyat, bahkan pro-Islam dan pro-Palestina. Namun di balik sikap tersebut, mereka memerankan dirinya sebagai agen pelaksana segala titah AS dan Barat. Mereka memerangi syariat Islam, memberangus dakwah dan jihad, dan menjalin konspirasi tersembunyi dengan tuan besar AS dan Barat. Secara ‘kulit’, mereka pahlawan Islam dan musuh Barat, namun secara ‘isi’ musuh Islam dan boneka Barat. Tipe ini muncul, misalnya, pada rezim Shadam Husain dan Moammar Qaddafi.

Kudeta ‘tanpa kekerasan’ yang dilancarkan oleh Qaddafi dan para perwira tersebut berlangsung sangat mulus. Pemerintahan monarchi Libya pro-Barat digantikan oleh pemerintahan baru Qaddafi yang ‘anti-Barat’. Tujuh bulan setelah kudeta tersebut, hanya dengan mengerahkan 150 tentara bersenjatan pistol, pemerintahan Qaddafi berhasil ‘menutup’ dan ‘mengusir’ dua kekuatan militer Barat.

Pertama, pangkalan militer Adam milik Inggris di kota Tobruk. Pangkalan militer ini mengangkut personal, persenjataan, amunisi, dan perbekalan militer Inggris dari kota Tobruk ke Libya Timur, Libya Barat, negara-negara Afrika lainnya dan Teluk Arab. Beberapa markas militer Inggris yang tersebar di beberapa wilayah Libya juga ikut ‘ditutup’. Kedua, pangkalan militer AS di kota Huwailis. Pangkalan ini merupakan salah satu pusat komando AS yang vital untuk menguatkan cengkeraman dominasi AS di benua Afrika.

Keberhasilan Qaddafi mengusir ‘musuh’ yaitu militer Inggris dan AS dari Libya dengan modal 150 pucuk pistol, tanpa seorang pun jatuh sebagai korban boleh dikata merupakan peristiwa paling menggemparkan dunia. Sangat ganjil dan mencurigakan. Pangkalan militer AS dan Inggris memiliki kekuatan militer yang sangat besar dan tangguh. Fungsinya sangat jelas, mengamankan kepentingan AS-Inggris di kawasan Timur Tengah dan Afrika, dan menegaskan hegemoninya atas kedua kawasan tersebut. Mungkinkah kedua pangkalan militer tersebut beserta markas-markas militer lainnya di seantero negeri Libya rela diusir? Mungkinkah pangkalan-pangkalan militer tersebut sudah bosan menjalankan misinya? Ataukah ada sandiwara dan konspirasi tersembunyi yang membawa misi zionis dan salibis internasional di balik kudeta tak berdarah dan pengusiran militer asing dari Libya ini?

Seorang yang berakal sehat tentu telah mengetahui jawabannya. Qaddafi hendak dimunculkan oleh kekuatan zionis dan salibis internasional sebagai PAHLAWAN REVOLUSI yang akan membawa dunia Islam kepada kejayaan, kemerdekaan, kebebasan, kemakmuran, dan perlawanan terhadap Barat. Itulah langkah awal pembangunan citra Qaddafi. Selanjutnya ia akan memainkan peran yang pernah dimainkan oleh diktator Yahudi Turki si Musthafa Kamal Pasya Ataturk atas skenario dan arahan sutradara kekuatan zionis dan salibis internasional. Dahulu Musthafa Kamal dimunculkan sebagai perwira brilian yang berhasil mengusir militer Barat dari Turki, tanpa pengorbanan sebutir peluru pun. Ia adalah pahlawan revolusi, pengusir penjajah Barat, dan pembangun Turki modern. Lalu perjalanan waktu membuktikan perannya sebagai boneka zionis-salibis untuk memerangi syariat Islam dan menanamkan sekulerisme di dunia Islam. Sungguh sebuah konspirasi yang sangat lihai dan keji untuk memerangi Islam dan kaum muslimin.

Kenapa para ulama memvonis Qaddafi sebagai kafir murtad?


Sejak 1969, Qaddafi adalah penguasa Libya. Semua ucapan, tindakan, dan kebijakannya selama memerintah diliput oleh TV, radio, dan surat kabar secara luas, baik dalam skala lokal, regional, maupun internasional. Ia dengan bangga, berani, tanpa canggung, dan tanpa malu memamerkan ucapan, tindakan, dan kebijakannya selaku pemimpin revolusi dan ‘musuh’ Barat.

Alhamdulillah, dengan semua dokumentasi tersebut, para ulama Islam dan lembaga-lembaga Islam internasional memiliki data yang sangat komplit tentang kekafiran dan kemurtadan Qaddafi. Berkali-kali para ulama Islam dan lembaga Islam internasional menempuh cara dialog, nasehat, teguran, dan ajakan kepada Qaddafi untuk bertaubat dan menarik kembali semua kekufurannya tersebut. Namun Qaddafi tetap angkuh mempertahankannya, tanpa sekalipun mau bertaubat dan memperbaiki dirinya. Walhasil, vonis kafir-murtad untuk Qaddafi tetap disandangnya sampai detik nyawanya berpisah dengan jasadnya.

Seperti halnya para taghut diktator lainnya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, pada awal revolusinya Qaddafi memamerkan dirinya sebagai pahlawan revolusi, pejuang Islam, pembela kaum muslimin, pengusir penjajah salibis Barat, dan pendukung berat perjuangan untuk membebaskan Palestina dari kangkangan zionis Yahudi. Setelah ia berhasil menarik simpati kaum muslimin dan kekuasaannya telah kokoh, maka ia mulai menunjukkan jati dirinya sebagai agen zionis-salibis dan gembong kekafiran yang sangat keras memusuhi Islam.

Berikut ini beberapa ucapan, tindakan, dan kebijakan Qaddafi yang merupakan kekafiran yang nyata, sehingga para ulama dan lembaga Islam internasional memvonisnya sebagai seorang kafir murtad.

Syirik (menyekutukan Allah dengan selain-Nya) dan melecehkan Allah SWT

Bagi Qaddafi, Allah Sang Pencipta tidak jauh berbeda dengan partai politik oposisi. Qaddafi menuduh Allah berbuat zalim. Dalam pertemuan dengan para pemimpin politik membahas pengguliran ‘Teori Internasional Ketiga’ di ibukota Tripoli pada tanggal 9 Agustus 1975, Qaddafi mengatakan: “Revolusi tidak secara otomatis mesti selalu berwarna ‘putih’. Ia juga bisa berwarna ‘merah’ terhadap lawan-lawannya. Oposisi haruslah dibinasakan. Saya katakan kepada kalian, agama-agama juga membinasakan para oposisinya. Allah juga membinasakan para oposisinya, padahal Allah juga yang telah menciptakan mereka. Jadi setiap orang membinasakan para oposisinya.”

Qaddafi melecehkan Allah dan menyamakan dirinya dengan Allah. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Haj (22): 73), Allah menantang tuhan sesembahan kaum musyrik untuk bersatu demi menciptakan seekor nyamuk. Dalam pidato kenegaraan tanggal 1 Oktober 1989 untuk memperingati terusirnya penjajah Italia dari bumi Libya, Qaddafi mengatakan: “Aku menantang kalian sebagaimana Dia berfirman kepada mereka; ‘Buatlah untukku seekor nyamuk saja!’ Dia menantang mereka yang mengatakan ‘Allah bukanlah apa-apa.’ Dia menantang mereka ‘Buatlah untuk Kami seekor lalat!’ Maka aku tantang kalian: ‘Buatlah untuk kami Pepsi saja!’

Qaddafi membandingkan Allah dengan manusia. Jika Allah menjadi tuhan di langit, maka rakyat juga menjadi tuhan di bumi. Dalam pidato kenegaraan tanggal 1 Oktober 1989 tersebut, Qaddafi juga menyatakan: “Rakyat itu seperti Allah…Allah di langit, dan rakyat di bumi. Dia tidak memiliki sekutu. Jika Allah memiliki sekutu, Dia akan berfirman ‘Mereka akan mencari jalan untuk naik kepada Pemilik ‘Arsy’. Jika ada tuhan-tuhan selain Dia, niscaya setiap tuhan akan mengatakan ‘Aku ingin menjadi Tuhan.’ Jika Dia berada di Arsy, niscaya tuhan-tuhan lain akan melakukan kudeta untuk menjatuhkan-Nya…Rakyat di atas bumi juga harus seperti ini, menjadi tuhan di atas buminya.”

Dalam pidato kenegaraan tanggal 27 Desember 1990, Qaddafi mengatakan, “Rakyat adalah penguasa di atas muka bumi. Rakyat menentukan apapun di bumi yang ia kehendaki. Adapun Allah berada di langit. Maka tiada penengah antara kita dengan Allah.” Inilah prinsip sekulersime yang dipraktikkan Qaddafi di Libya. Seluruh ajaran Al-Qur’an dan as-sunnah dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, dan lainnya dicampakkan. Ajaran Islam hanya diakui dalam urusan ibadah ritual belaka. Sebagai gantinya, di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, dan lainnya Qaddafi menerapkan undang-undang positif yang ia karang sendiri. Ia menamakannya al-kitab al-akhdar, Kitab Hijau (Green Book). Terbit dalam bahasa Arab, Kitab Hijau menjabarkan tiga paham dasar, yaitu “Demokrasi berdasarkan Kekuasaan Rakyat,” “Ekonomi Sosialisme” dan “Teori Internasional Ketiga.” Paham itu lalu menjadi panduan bagi sistem demokrasi ala Khadafi, sekaligus panduan politik luar negeri Libya.

Tidak aneh jika Qaddafi sangat ketat menerapkan sekulerisme dan menolak penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia sangat mengagumi bapak sekulerisme Turki, Musthafa Kamal Ataturk. Ia bekerja sangat keras demi menerapkan sekulerisme ala Turki di Libya. Dalam dialog dengan para ulama dan santri penghafal Al-Qur’an pada tanggal 3 Juli 1978, Qaddafi menyatakan para ulama Turki yang fanatik, bodoh, dan lugu menolak memberi fatwa kebolehan sekulerisme. Qaddafi mengatakan : “Ataturk adalah orang yang dizalimi…saya katakan hal ini kepada sejarah. Hal itu karena orang-orang yang bodoh, lugu, dan fanatik (maksudnya para ulama Islam di Turki, edt) memaksanya (maksudnya Musthafa Kamal Ataturk, edt) untuk kafir (maksudnya memvonis Ataturk Kafir karena menerapkan sekulerisme di Turki, edt). Mestinya mereka menyatakan kepadanya ‘ya, boleh’ sehingga mereka tetap sebagai muslimin. Namun mereka menjawab ‘tidak, tidak boleh, haram’. Siapa yang berkata kepada kalian? Mereka memakai surban di kepala, lalu mengatakan ‘tidak boleh, haram’. Ataturk bertanya kepada mereka, “Apakah sama sekali tidak ada fatwa ulama yang menyatakan kita tetap sebagai kaum muslimin, dan pada saat yang sama kita memisahkan agama dari negara?’ Mereka menjawab, “Tidak, sama sekali tidak ada fatwa.”

Sebagai seorang penguasa sekuler, Qaddafi menegaskan fungsi masjid sebatas membahas urusan pribadi; surga, neraka, pahala, siksa, dan ibadah ritual. Adapun urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, dan aspek kehidupan masyarakat yang lainnya tidak boleh dibahas di masjid. Ia menekankan urusan publik adalah hak penguasa semata, sedangkan urusan privat adalah urusan setiap hamba dengan Tuhannya. Dalam khutbah Jum’at di masjid Jado, 11 Juli 1980, Qaddafi mengatakan: “Pokok dari khutbah Jum’at adalah masyarakat meninggalkan kesibukan-kesibukan dunia dan problematika mereka di luar masjid, lalu mempergunakan waktu yang singkat untuk shalat (Jum’at), mereka mendengarkan firman Allah tentang kematian, kehidupan, surga, neraka, kebangkitan, perhitungan amal, dan balasan. Adapun problematika kehidupan harus dibahas di luar masjid.”

Melecehkan Nabi SAW

Kebencian Qaddafi terhadap Nabi SAW dan sunnahnya tidak bisa ditutup-tutupi, bahkan ia mengumumkannya di depan publik dengan berbangga diri dan penuh kecongkakan. Tidak heran apabila ia memerintahkan membakar kitab-kitab hadits dengan dalih kitab kuning yang telah usang dan ketinggalan zaman. Lebih dari itu, Qaddafi mengingkari As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam. Qaddafi mencampakkan kalender hijriyah. Sebagai gantinya, ia menetapkan sistem kalender baru yang dimulai dengan wafatnya Nabi SAW.

Berdalih atas tindakannya itu, Qaddafi mengatakan, “Ada banyak peristiwa sejarah yang saya yakini lebih penting dari hijrah Nabi… di antaranya adalah kewafatan Nabi SAW. Wafatnya Rasul SAW setara dengan kelahiran Isa AS… Jika kita harus membuat kalender dengan berpatokan kepada peristiwa-peristiwa sejarah, maka yang lebih utama adalah dengan berpatokan kepada kewafatan Nabi SAW. Di antara peristiwa penting adalah kewafatan Nabi, sehingga kita bisa menetapkan kalender atau menuliskan untuk umat manusia suatu sejarah sampai setelah berlalu jutaan tahun, bahwasanya ada seorang rasul penutup para nabi yang wafat pada tahun sekian, atau telah berlalu kewafatannya sejak sekian tahun atau sekian abad.” (Khuthab wa Ahadits al-Qaid ad-Diniyah, hal. 290)

Qaddafi juga menyatakan alasan kebijakannya tersebut dengan mengatakan, “Jadi Umar bin Khatab adalah orang yang menyatakan ’Tahun ini tahun hijriyah’. Itu adalah pendapatnya pribadi. Namun kita juga punya pendapat sendiri. Kita berpendapat…kita bisa menyatakan bahwa peristiwa hijrah tidaklah memiliki arti sepenting itu. Hal yang lebih penting darinya adalah penaklukan Makkah. Dan yang lebih penting lagi adalah wafatnya Nabi SAW.” (Khuthab wa Ahadits al-Qaid ad-Diniyah, hal. 300-301)

Sungguh ganjil. Wafatnya Rasulullah SAW dianggap sebagai mukjizat yang setara dengan keajaiban kelahiran nabi Isa AS. Siapakah yang merasa gembira dengan wafatnya Rasulullah SAW, sehingga merayakannya dan menjadikannya sebagai patokan kalender? Tiada orang yang bergembira dan merayakan wafatnya Rasulullah SAW dengan cara seperti itu selain orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrikin yang memendam kebencian terdalam terhadap diri Rasulullah SAW!

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia! Siapapun seorang mukmin yang ditimpa oleh sebuah musibah, maka hendaklah ia berbela sungkawa dengan musibah (kehilangan)ku sebagai ganti dari belasungkawanya karena kehilangan orang lain. Sesungguhnya tiada seorang pun dari umatku yang tertimpa musibah yang lebih berat dari musibah kehilanganku.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 7879)

Mantan ibu asuh Nabi SAW, Ummu Aiman menangis di hadapan Abu Bakar dan Umar. Keduanya bertanya kepada Ummu Aiman tentang sebab ia menangis, maka ia menjawab, “Aku tidak menangisi pribadi beliau SAW, karena aku mengetahui balasan di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah SAW. Namun aku menangis karena wahyu Allah telah terputus (dengan meninggalnya Rasulullah SAW).” Maka Abu Bakar dan Umar ikut menangis. (HR. Muslim)

Mantan pembantu Nabi SAW, Anas bin Malik berkata, “Pada hari Rasulullah SAW tiba di Madinah, segala sesuatu bersinar terang. Namun pada hari beliau SAW wafat, segala sesuatu di Madinah menjadi gelap.” Anas berkata lagi, “Tangan-tangan kami telah selesai menimbun jenazah Nabi SAW, namun hati kami seakan mengingkari (kwafatan)nya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad. Dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Katsir dan syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1631)

Pelecehan dan kebencian Qaddafi kepada Rasulullah SAW tidak berhenti sampai urusan sistem penanggalan kontroversial ini. Dalam khutbahnya pada acara perayaan maulid Nabi SAW di masjid Maulaya Muhammad, ibukota Tripoli pada tanggal 19 Februari 1978, Qaddafi mengatakan: ”Jika aku mengatakan kepada kalian Rasulullah, maka kalian semua menjawab Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun jika aku mengatakan kepada kalian Allah, ternyata kalian tidak mengatakan apa-apa. Ini merupakan sebuah bentuk penghambaan (penuhanan Nabi SAW, edt) dan paganism yang kita jalani…Jika sekarang saya mengatakan Allah sebanyak seribu kali, ternyata keadaannya biasa saja. Namun ketika saya mengatakan Rasulullah, setiap orang di antara kita mengatakan Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan hal itu berarti kita lebih takut kepada Rasulullah melebihi takut kita kepada Allah. Atau seakan-akan kita merasakan Rasulullah lebih dekat kepada kita melebihi kedekatan Allah kepada kita. Ini sepenuhnya sama dengan orang-orang Masehi (Nasrani, edt) yang mengatakan: ‘Isa lebih dekat kepada kita daripada Allah’.

Di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menegaskan: ‘Sesungguhnya Nabi bersabda: Kalian wajib mengikuti semua ucapan yang aku katakan!’ Jika ada ayat seperti itu, maka dimana gerangan perkataan yang ia ucapkan selama 40 tahun sebelum diangkat menjadi nabi? Terlebih bisa dipastikan bahwa ia juga berbicara sebelum diangkat menjadi nabi. Jika Nabi mengatakan ‘Ikutilah hadits (sabda)ku!’, maka itu artinya haditsnya akan diberlakukan sebagai pengganti dari Al-Qur’an. Namun secara terus-menerus ia menegaskan kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an semata. Seandainya ia menganggap suci haditsnya dan menempatkannya dalam kedudukan yang sangat urgen seperti Al-Qur’an, tentulah ia sudah membuat kitab lain yang akan menggantikan posisi Al-Qur’an.”

Qaddafi jelas-jelas mengingkari perintah Al-Qur’an dan hadits shahih kepada umat Islam untuk banyak membaca shalawat atas Nabi SAW. Qaddafi juga secara terang-terangan menolak hadits Nabi SAW, dan mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi SAW, dan ijma’ ulama yang memerintahkan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta menempatkan As-sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an.

Qaddafi juga mengingkari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits shahih, dan ijma’ ulama yang menyatakan Nabi SAW diutus kepada seluruh umat manusia dan jin. Dalam pertemuan dengan para dosen universitas pada tanggal 9 Februari 1982, Qaddafi mengatakan, “Jasad bangsa Arab adalah nasionalisme Arab dan ruh mereka adalah Islam, karena Muhammad diutus kepada bangsa Arab semata! Al-Qur’an datang untuk bangsa Arab dan dengan bahasa Arab, ditujukan kepada bangsa Arab saja.Siapa pun orang selain bangsa Arab yang memeluk agama Islam, pada hakekatnya adalah sukarela saja (bukan wajib, edt). Urusannya terserah Allah, namun sebenarnya ia tidak dimaksudnya (sebagai obyek dakwah Al-Qur’an dan Islam, edt).”

Dalam pertemuan Sekretariat Jendral Sementara Konferensi Internasional Bangsa-bangsa Islam pada tanggal 19 Desember 1989, Qaddafi mengatakan kebencian dan pelecehannya kepada Nabi SAW dan para sahabat. Qaddafi menyatakan, “Ketika para sahabat Rasul SAW menjadi para penguasa, maka mereka diinjak-injak dengan kaki dalam kapasitas mereka sebagai para penguasa sipil. Utsman dibunuh dalam kedudukannya sebagai kepala negara republik atau raja. Umar dengan keadilannya menjadi seorang penguasa, dan menaklukkan Persia dan Romawi. Ali diperangi oleh kaum muslimin. Orang-orang terdekat, pengikut-pengikut, dan kawan-kawannya justru memisahkan diri darinya. Kenapa? Karena ia berambisi kekuasaan dan ingin menjadi kepala negara republik. Seandainya Muhammad SAW menjadi kepala negara republik, niscaya orang-orang akan meninggalkannya.”

Bersambung, insya Allah…

Sumber

(muhib al-majdi/arrahmah.com)

12.43 | Posted in | Read More »

Qadafi 3

Mengungkap rahasia kelam sosok Qaddafi: Fir'aun, Toghut, dan Musailamah al-Kadzab dari Libya (3)

(Arrahmah.com)- Dalam dua artikel sebelumnya (bagian 1, bagian 2), kita telah menguraikan alasan yang melatar belakangi berbagai lembaga Islam internasional dan ulama Islam dari berbagai negara menjatuhkan vonis kafir murtad terhadap taghut Libia, Moammar Qaddafi. Sampai akhir hayatnya, Qaddafi tidak pernah menarik kembali berbagai ucapan, perbuatan, dan kebijakan kufurnya. Seruan, ajakan, dialog, dan utusan para ulama Islam yang mengajaknya bertaubat tak pernah ia gubris. Dalam artikel ketiga ini, kita akan mengangkat ‘kegilaan-kegilaan’ Qaddafi yang lain, semoga menjadi renungan dan pelajaran bagi setiap muslim.

6. Qaddafi mengaku dirinya adalah seorang nabi

Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama menegaskan bahwa nabi Muhammad SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul. Sepeninggal beliau, tidak ada lagi seorang nabi atau rasul yang diutus ke muka bumi. Barangsiapa mengklaim dirinya sebagai nabi sepeninggal beliau atau membenarkan orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi, maka orang tersebut telah kafir murtad menurut ijma’ ulama karena mendustakan Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama di atas.

Allah SWT berfirman,

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab (33): 40)

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda,

“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, maka ia digantikan oleh nabi lainnya. Sesungguhnya tiada seorang nabi pun sepeninggalku, namun yang ada adalah para khaifah dan jumlah mereka banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwasanya Rasulullah SAW berangkat ke medan perang Tabuk dan mengangkat Ali sebagai penggantinya (untuk sementara waktu mengurus kota Madinah), Maka Ali berkata, “Apakah Anda akan meninggalkan aku bersama anak-anak dan kaum wanita?” Maka Nabi SAW bersabda, “Apakah engkau tidak rela jika kedudukanmu dariku seperti kedudukan nabi Harun dari nabi Musa (saat nabi Musa menerima wahyu di bukit Thursina, nabi Harun menggantikan posisinya memimpin Bani Israel, pent)? Hanyasaja tiada seorang nabi pun sepeninggalku.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Tsauban RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya di tengah umatku akan muncul tiga puluh orang Kadzab (pembohong besar), masing-masing di antara mereka mengklaim dirinya adalah nabi. Padahal aku adalah penuup seluruh nabi, tiada seorang nabi pun sepeninggalku.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, al-Baihaqi, dan al-Baghawi)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberitahukan dalam kitab-Nya dan Rasul-Nya SAW telah memberitahukan dalam sunnah mutawatir bahwasanya tiada seorang nabi pun sepeninggal beliau. Hal itu agar mereka mengetahui bahwa setiap orang yang mengklaim kedudukan kenabian sepeninggal beliau adalah seorang pembohong besar, pendusta, orang yang sesat lagi menyesatkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/502)

Qaddafi mengklaim dirinya adalah seorang Nabi. Hal itu diungkapkannya dalam wawancara dengan wartawati Italia yang menulis biografinya, Mirella Bianco. Wartawati itu bertanya kepadanya, “Wahai utusan Allah (Rasulullah), apakah Anda dahulu seorang penggembala kambing?” Qaddafi menjawab, “Ya, tiada seorang nabi pun yang tidak melakukan hal itu.” (Qaddafi Rasul ash-Shahra’, hlm. 241, karya Mirella Bianco)

Berkaitan dengan kelancangan Qaddafi mengklaim dirinya adalah nabi ini, beberapa lembaga Islam internasional telah mengadakan pertemuan khusus untuk membahasnya di kantor pusat Rabithah Alam Islami di Jedah, pada hari Selasa-Kamis tanggal 11-14 Dzulhijah 1400 H (20-23 Oktober 1980 M). Rabithah Alam Islami, Dewan Masjid Interasional, dan 39 ulama Islam dari berbagai negara yang ikut serta dalam pertemuan tersebut mengeluarkan pernyataan sikap bersama.

Di antara isinya adalah vonis kafir-murtad untuk Qaddafi, dan ajakan kepadanya untuk bertaubat, mencabut seluruh kekafirannya, dan kembali masuk Islam. Rabithah Alam Islami mendokumentasikan hasil pertemuan berbagai lembaga Islam Internasional dan para ulama Islam dari berbagai negara tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 1406 H, berjudul Ar-Raddu asy-Syaafi ‘ala Muftarayat Qaddafi (Bantahan tuntas atas kebohongan-kebohongan Qaddafi).

Qaddafi bahkan mengklaim dirinya tidak bisa dimintai pertanggung jawaban oleh siapa pun atas apapun yang ia kerjakan, sebagaimana Allah SWT tidak dimintai pertanggung jawaban atas apa pun yang Dia kehendaki dan Dia lakukan. Qaddafi membandingkan dirinya dengan Allah SWT, seakan-akan Qaddafi-lah pencipta bumi Libya dan seluruh penduduknya. Dalam pidato pembukaan Konferensi Kebangsaan di ibukota Tripoli pada tanggal 27 Januari 1990 M, Qaddafi mengatakan:

“Saya tidak dimintai pertanggung jawaban di hadapan siapa pun. Orang yang melakukan revolusi (maksudnya adalah Qaddafi sendiri, edt) bukanlah orang yang ditunjuk. Engkau tidak memberinya tugas untuk melakukan revolusi. Dia sendiri yang melakukan revolusi, berkorban sendiri, mengemban tanggung jawabnya sendiri. Dia hanya bertanggung jawab kepada hati nuraninya sendiri. Ia tidak dimintai pertanggung jawaban di hadapan satu orang lain pun.

Allah adalah Sang pencipta, pencipta langit dan bumi. Siapa yang akan melakukan hisab (perhitungan amal dan pengadilan atas semua perbuatan, edt) terhadap-Nya? Dia mendatangkan kepada kita angin ribut, badai topan, dan cuaca. Dia mendatangkan hari kiamat. Dia menghancurkan seluruh dunia. Siapa yang akan menanyai-Nya (meminta pertanggung jawaban-Nya, edt)? Sekarang, tidak ada. Tidak ada seorang pun yang menunjuk-Nya dengan mengatakan, “Engkau menjadi tuhan, lalu apa yang akan Kau lakukan?” Ini tidak benar karena Dia SWT adalah Sang Pencipta Yang mengadakan (langit dan bumi, edt). Dia mengatakan kepada segala sesuatu ‘Jadilah!, niscaya ia akan terwujud. Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Pencipta langit dan bumi. Oleh karena itu, kami yang melaksanakan revolusi hanya bertanggung jawab di hadapan hati nurani kami.”

Sungguh benar pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harrani, “Tiada seorang pun yang mengklaim dirinya adalah nabi, melainkan pada dirinya akan nampak jelas kebodohan, kedustaan, kebejatan, dan penguasaan (tipuan) setan atas dirinya, yang akan diketahui dengan jelas oleh siapa pun yang memiliki akal.” (Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal ‘Amaliyah, hlm. 185, karya Dr. Abdul Aziz bin Muhammad al-Abdul Lathif)



7. Qaddafi menerapkan hukum positif (hukum jahiliyah) dan tidak menerapkan hukum Allah

Qaddafi menegakkan pemerintahannya di atas dasar sekulerisme, yaitu demokrasi ala Qaddafi dan sosialisme. Qaddafi mencampakkan hukum Allah dari kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer Libya. Ia melakukan tahrif atas Al-Qur’an, mengingkari As-sunnah, dan menyingkirkan syariat Allah dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai gantinya ia menerapkan sistem jahiliyah modern, yaitu al-kitab al-akhdar. Itulah kitab suci Qaddafi yang diwahyukan kepadanya oleh setan jin dan setan (tuan zionis, salibis, sosialis-komunis, dan paganis internasional). Qaddafi memerangi semua muslim, organisasi Islam, dan gerakan Islam di Libya yang menuntut —apalagi memperjuangkan dengan jihad fi sabilillah — penegakan syariat Allah di bumi Libya.

Seperti para taghut dan gembong kekafiran lainnya di negeri-negeri kaum muslimin, Qaddafi juga melakukan kamuflase untuk menutup-nutupi kekafiran dan semua usahanya dalam memerangi syariat Islam. Di antaranya, Qaddafi mengangkat semboyan ‘Al-Qur’an adalah syariat (undang-undang) masyarakat’. Qaddafi juga membuat beberapa yayasan Islam dan organisasi Islam. Seperti Jam’iyah ad-Da’wah al-Islamiyah al-‘Alamiyah (Organisasi Dakwah Islam Internasional) yang bekerja keras untuk menampilkan sosok Qaddafi sebagai satu-satunya pemimpin sejati kaum muslimin sedunia. Organisasi ini menjadi kepanjangan tangan Qaddafi dalam memuluskan tujuan-tujuannya di dalam negeri maupun luar negeri.

Meski banyak kamuflase ‘keagamaan’ telah ditempuh oleh Qaddafi, jutaan kaum muslimin di Libya dan lebih dari satu miliar kaum muslimin di luar Libya telah menjadi saksi hidup bahwa seama 42 tahun pemerintahannya, syariat Islam tidak diterapkan oleh Qaddafi di Libya. Bukan syariat Allah yang berdaulat di Libya, bukan pula undang-undang sekuler era monarchi Libya, melainkan syariat (baca: undang-undang dan pedoman hidup) Qaddafi.

Undang-undang positif (undang-undang jahiliyah hasil ketetapan manusia yang tidak berdasar syariat Allah, bahkan menyelisihi syariat Allah, edt) yang berlaku pada masa monarchi Libya telah dinyatakan tidak berlaku oleh Qaddafi pada tahun 1973 M. Sejak saat itu, semua perundang-undangan, hukum, dan peraturan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Libya adalah hasil ketetapan dan keinginan (baca: hawa nafsu) Qaddafi belaka. Dialah diktator yang memiliki kedaulatan mutlak untuk menentukan semua hukum dan peraturan.

Qaddafi menjalankan semua keinginan dan kediktatorannya tersebut dengan program nasional yang dinamakan ‘Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah’ (Kedaulatan Revolusi). Bila kita bandingkan program Qaddafi tersebut dengan keadaan di negeri ini, kurang lebih seperti penerapan Asas Tunggal Pancasila dengan penataran nasional P-4 dan GBHN-nya pada masa orde baru.

Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah mulai diluncurkan para bulan Maret 1990 M, dibidani oleh sebuah lembaga Negara yang dibentuk dan diarahkan oleh Qaddafi, bernama Mu’tamar Asy-Sya’b Al-‘Am (Konferensi Umum Bangsa). Dalam butir-butir Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah ditegaskan antara lain:

Semua arahan pemimpin revolusi, kolonel Moammar Qaddafi, wajib dilaksanakan.
Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah secara otomatis memiliki kekuatan hukum berdasar Undang-undang Revolusi, sehingga tidak menerima amandemen dan pembatalan.
Dalam pidato pembukaan Konferensi Umum Bangsa di ibukota Tripoli tanggal 27 Januari 1990 tersebut, Qaddafi mengatakan di depan seluruh peserta konferensi:

“Saya tidak memerlukan penyerahan kekuasaan dari kalian, karena aku sendiri telah memiliki seluruh bentuk kekuasaan berdasar Kedaulatan Revolusi yang saya rebut dengan kekuatan dari tangan para gubernur, mentri, dan raja pada masa yang telah lewat. Kami-lah yang kini menduduki kursi-kursi mereka, sehingga kami pula yang berhak menetapkan seluruh keputusan. Sejak saat itu, kekuasaan telah beralih ke tangan para pelaku revolusi. Kini saya berada dalam posisi yang telah saya raih dengan kekuatan. Tiada seorang pun yang dapat merebutnya dari saya, kecuali dengan kekuatan. Saya memerintah berdasar Kedaulatan Revolusi, maka saya tidak bertanggung jawab kepada pihak (lembaga Negara, edt) manapun. Karena tidak ada satu pihak pun yang menyerahkan kekuasaan kepada saya, maka tidak ada satu pihak pun yang bisa memerika (meminta pertanggung jawaban pemerintahan, edt) saya. Saya memiliki Kedaulatan Revolusi, Kedaulatan Revolusi tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, kecuali di hadapan hati nuraninya sendiri.”

Jika seorang Qaddafi lancang menyejajarkan dirinya dengan Allah SWT, berani melakukan tahrif terhadap Al-Qur’an, berani melecehkan Rasul-Nya SAW dan mengingkari sunahnya…anda bisa membayangkan hati nurani sesuci apakah yang dimiliki oleh seorang Qaddafi??? Tentu saja hati nurani yang telah mati. Minimal hati nurani yang telah sakit parah, oleh penyakit kekufuran, kezindikan, kesombongan, dan kebencian terhadap Islam.

Qaddafi telah memerangi setiap orang yang menuntut penerapan syariat Islam di bumi Libya. Qaddafi membantai dan memenjarakan banyak ulama, santri, aktivis Islam, dan pemuda Islam yang menginginkan hidup berbangsa dan bernegara di bawah naungan Al-Qur’an dan As-sunnah. Qaddafi memberangus semua muslim dan organisasi Islam di Libya yang mengajaknya untuk mengakui ‘kedaulatan dan hak menetapkan undang-undang sepenuhnya milik Allah SWT, bukan milik Qaddafi atau manusia, siapa pun dirinya’.

Qaddafi memaksa para wanita muslimah untuk mengikuti akademi militer sehingga kehormatan mereka dinodai, kecantikan dan aurat mereka dipamerkan di hadapan kaum pria, ikhtilat (campur-baur wanita dan laki-laki yang bukan mahram) menjadi budaya, dan perbuatan keji menyebar luas di kalangan rakyat dan pejabat.

Qaddafi merampas harta kekayaan rakyat muslim Libya secara zalim, atas nama ‘aparat Revolusi menggerebek tempat-tempat produksi’. Qaddafi memberi kekuasaan penuh kepada para gelandangan, pengangguran, dan buruh untuk menguasai rumah-rumah warga muslim Libya, atas nama ‘rumah untuk penghuninya’. Bukankah ini adalah penerapan ajaran komunisme-sosialisme di Libya, seperti halnya PKI di zaman orde lama yang menggerakkan BTI dan SOBSI untuk merampas lahan pertanian dan perkebunan miliki perusahaan dan warga muslim non-PKI?

Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak mutlak Allah SWT. Rasulullah SAW ‘hanya’ menghalalkan dan mengharamkan sesuatu berdasar wahyu Allah SWT kepadanya. Siapa pun yang ‘menyaingi’ Allah dalam hak menghalalkan dan mengharamkan ini, dengan menghalalkan hal yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya atau mengharamkan hal yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, niscaya ia telah kafir murtad berdasar nash Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama.

Allah SWT berfirman (yang artinya):

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl (16): 116)

Allah SWT menerangkan bahwa para pemimpin agama Yahudi dan Nasrani yang mengharamkan hal yang dihalalkan Allah, dan menghalalkan hal yang telah diharamkan Allah adalah ‘tuhan-tuhan tandingan’ dan kaum musyrik. Allah berfirman (yang artinya):

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah (9): 31)

Makna ayat ini dijelaskan dalam hadits Adi bin Hatim RA, seorang kepala suku Thai penganut agama Kristen. Ia datang kepada Rasulullah SAW untuk masuk Islam. Ia menemui Rasulullah SAW di Madinah dengan mengenakan kalung berbandulkan salib. Maka Rasulullah SAW membacakan ayat tersebut. Adi bin Hatim menjawab, “Wahai Rasulullah, kami (pemeluk Kristen) tidak menyembah para pendeta kami.”

Rasulullah SAW bertanya, “Bukankah ketika para pendeta kalian menghalalkan hal yang diharamkan Allah, maka kalian mengikuti ajaran mereka? Begitu pula ketika para pendeta kalian mengharamkan hal yang dihalalkan Allah, maka kalian mengikuti ajaran mereka?’

Adi bin Hatim menjawab, “Memang begitulah keadaannya.”

Rasulullah SAW bersabda, “Itulah yang dimaksud dari menjadikan para pendeta sebagai tuhan selain Allah.” (HR. adalah HR. Ibnu Sa’ad, Abd bin Humaid, at-Tirmidzi, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Syaikh al-Asbahani, Ibnu Marduwaih, dan al-Baihaqi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harrani menulis, “Manusia, kapan saja ia menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syariat (hukum Islam) yang telah disepakati, maka ia telah kafir murtad menurut kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa, 3/267)

Qaddafi mewajibkan pengajaran, pemahaman, dan penerapan al-Kitab al-Akhdhar di Libya. Ia adalah sebuah buku karangan Qaddafi yang dijadikan pedoman dan undang-undang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Libya. Qaddafi mensifati buku karyanya tersebut sebagai ‘Injil Abad Modern” yang memiliki kedudukan seperti kabar gembira nabi Isa dan lembaran-lembaran wahyu nabi Musa ‘alaihimas salam.

Tentang proses penulisan, urgensi, kedudukan, manfaat, dan ‘mu’jizat’ al-Kitab al-Akhdhar, Qaddafi mengatakan, “Saya persembahkan kepada kalian, padahal saya adalah manusia Badui yang sederhana. Dahulu saya menunggang keledai, menggembala kambing, berjalan tanpa alas kaki, dan saya menjalani usiaku di antara orang-orang yang sderhana. Saya persembahkan kepada kalian karyaku, al-Kitab al-Akhdar dengan ketiga pasal (bagian pembahasan, edt)nya, yang menyerupai kabar gembira nabi Isa dan lembaran-lembaran wahyu nabi Musa, atau khutbah seorang penunggang unta yang pendek, yang saya tulis dari dalam kemah saya yang telah diketahui oleh dunia, setelah diserang dan dibombardir oleh 170 pesawat pembom dengan tujuan membakar al-Kitab al-Akhdhar karya saya, yang saya tulis dengan tangan saya sendiri. Saya telah mengumpulkan peribahasa-peribahasa, kata-kata mutiara, berbagai fenomena, dan membaca sejarah. Maka saya mendapati umat manusia telah mengarang al-Kitab al-Akhdhar, yang merupakan bukti final kemerdekaan dari kekerasan dan penindasan, menyampaikan kepada kebebasan dan merealisasikan kebahagiaan. Saya mendapati tujuan final manusia adalah kebahagiaan, dan sesungguhnya surga yang dijanjikan atau surga yang hilang adalah kebahagiaan.” (As-Sijil a-Qaumi, hlm. 21)

Al-Kitab al-Akhdhar dengan ketiga pasalnya (politik, ekonomi, dan sosial) dikarang oleh Qaddafi mengikuti trend para taghut dunia yang saat itu menulis pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Al-Kitab al-Akhdhar karya Qaddafi mengikuti jejak penulisan Buku Merah karya Mao Zedong (Mao Tse-tung), pendiri Partai Komunis Cina dan kepala negara pertama Republik Rakyat Cina.

((( Seperti ditulis dalam artikel ‘Little Red Book’ oleh saudara Haris Priyatna dan dimuat di kolom Selisik, Republika, 1 Oktober 2006, pada bulan April 1964, Partai Komunis Cina menerbitkan buku Mao Zhuxi Yulu atau Quotations of Chairman Mao (Kumpulan Kutipan Ketua Mao). Karena ukurannya yang kecil dan sampulnya yang berwarna merah, buku ini lebih dikenal dengan nama The Little Red Book—Buku Merah Kecil. Semua orang Cina pada masa Revolusi Kebudayaan diwajibkan memiliki dan membaca buku ini.

Seperti yang tersirat dari judulnya, buku ini berisi kumpulan kutipan yang diambil dari pidato-pidato dan tulisan-tulisan Mao sepanjang 1927-1964. Dicetak dalam ukuran saku agar mudah dibawa ke mana-mana. Memang, buku ini menjadi fenomenal karena setiap warganegara Cina wajib memiliki, membaca, dan membawanya setiap saat selama pemerintahan Mao Tse-tung. Apabila pada saat razia seseorang didapati tidak membawa buku ini, ia bisa dipukuli di tempat oleh Pengawal Merah atau dihukum penjara kerja paksa selama bertahun-tahun.

Selama Revolusi Kebudayaan, mengkaji buku ini tidak hanya diwajibkan di sekolah-sekolah, tetapi juga menjadi praktik standar di tempat kerja. Semua sektor, baik industri, perdagangan, pertanian, pelayanan sipil, maupun militer membentuk kelompok-kelompok untuk mempelajari buku ini pada jam kerja. Kutipan-kutipan tertentu dari Mao Tse-tung dicetak tebal atau di-highlight merah, dan hampir semua tulisan, termasuk esai ilmiah, harus mengutip kata-kata Ketua Mao)))

Dalam al-Kitab al-Akhdhar, Qaddafi mengungkapkan sejumlah ‘fakta ilmiah’ yang baru pertama kali ditemukan oleh Qaddafi! Dalam pasal ketiga, di bawah judul ‘perempuan’, Qaddafi menulis: “Perempuan dan laki-laki adalah manusia…Perempuan itu makan dan minum sebagaimana laki-laki makan dan minum…Perempuan itu senang dan benci sebagaimana laki-laki senang dan benci…Perempuan itu wanita dan laki-laki itu pria…Perempuan berdasar hal, dokter penyakit-penyakit perempuan mengatakan perempuan itu mengalami haidh dan sakit setiap bulan. Adapun laki-laki tidak mengalami haidh karena ia adalah pria.”

Dalam acara pembukaan Konferensi Internasional Gerakan Politik untuk para pemuda Eropa dan Arab, tanggal 14 Juni 1973 M, Qaddafi menjelaskan tentang ‘teori internasional ketiga’nya dengan mengatakan kepada para peserta, “Teori ini akan membuat agama untuk kita, akan membuat akhlak untuk kita, dan akan membuat hubungan-hubungan baru sebagai panduan dalam menjalin hubungan.”

Di lain waktu, Qaddafi mengungkapkan bahwa al-Kitab al-akhdar bukan buku agama atau buku akhlak. Sebagai seorang sekuleris-sosialis, tentu saja agama versi Qaddafi adalah sebatas ritual ibadah yang mengatur hubungan vertical antara Allah dan makhluk. Adapun hubungan horisontal antara sesama makhluk seperti urusan ekonomi, politik, social, budaya, militer, dan lainnya menurut anggapan Qaddafi bukanlah bagian dari agama, dan agama tidak memiliki aturan pada bidang-bidang tersebut. Qaddafi sendiri mengakui, al-Kitab al-Akhdhar sama sekali tidak berlandaskan kepada Al-Qur’an!

Dalam dialog dengan para ulama dan santri penghafal Al-Qur’an di ibukota Tripoli, Qaddafi mengatakan, “Ketika engkau mengatakan buku ini adalah buku agama, maka dalam kondisi ini engkau berhak berhenti dan membandingkan antara al-Kitab al-Akhdhar dengan agama, sehingga engkau bisa mengatakan buku ini tidak sah menjadi buku agama, karena isinya menyelisihi Al-Qur’an. Namun ketika saya datang dan saya mengatakan kepadamu; ‘Buku ini bukanlah buku agama, melainkan buku ekonomi”, maka saya memiliki buku ‘pendapat-pendapat baru tentang pasar, mobilisasi, prinsip-prinsip perang”. Buku ini tidak mungkin dibandingkan dengan Al-Qur’an, karena sama sekali tidak ada keterkaitan antara buku ini dengan Al-Qur’an. Saya sudah mengatakan bahwa al-Kitab al-Akhdhar menyelesaikan problematika politik dan problematika ekonomi. Namun saya tidak mengatakan ia adalah buku agama, sehingga kita membandingkan antara ia dengan Al-Qur’an, karena jika kita menyelesaikan perbandingan tersebut niscaya kita akan membahayakan Al-Qur’an.”

Anda tentu sudah mampu memahami, kapan Qaddafi membahayakan Al-Qur’an? Qaddafi menyatakan buku karyanya mampu memberikan solusi tuntas atas problem ekonomi dan politik. Sementara ia meyakini Al-Qur’an tidak memberikan pedoman hidup di bidang ekonomi dan politik. Jadi, secara tidak langsung Qaddafi mengakui buku karyanya tersebut lebih tinggi, lebih mulia, lebih bermanfaat, dan lebih sempurna dari Al-Qur’an. Itulah sebabnya Qaddafi menerapkan al-Kitab al-Akhdar buah karya tangannya sendiri sebagai pedoman berbangsa dan bernegara Libya, sementara pada saat yang sama ia mencampakkan Al-Qur’an wahyu Allah SWT dari kehidupan public berbangsa dan bernegara Libya. Aduhai, lancang betul si ‘tuhan sosialis’ dan ‘Musailamah al-Kadzab’ Libya ini.

Allah SWT berfirman (yang artinya),

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maidah (5): 50)

Dalam dialog dengan para ulama dan santri penghafal Al-Qur’an di masjid Maulaya Muhammad, ibukota Tripoli tanggal 3 Juli 1987 tersebut, Qaddafi mengancam orang-orang yang mengatakan al-Kitab al-Akhdar bertentangan dengan ajaran Islam. Kepada mereka, Qaddafi akan melakukan kekejaman seperti tangan besi Kamal Ataturk terhadap ulama dan umat Islam Turki yang menolak sekulerisme. Qaddafi juga berjanji akan menerapkan Marxisme-komunisme.

Dalam kesempatan tersebut, Qaddafi mengatakan: “Sekarang, seseorang datang kepada saya dan mengatakan: ‘Al-Kitab al-Akhdhar bertentangan dengan agama (Islam). Saya akan bertindak sebagaimana (Kamal, edt) Ataturk bertindak, saya marah, dan saya katakan kepadamu: ‘Ambil, robek-robek, dan bakarlah al-Kitab al-Akhdhar dalam api! Saya akan datangkan Kitab Merah sehingga saya terapkan seluruh ajaran Marxisme dalam buku itu.”

Untuk menjalankan seluruh kebijakan sekulerisme-sosialisme di Libya dan membungkam semua ulama dan aktivis Islam yang menentangnya, Qaddafi membentuk Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah (Gerakan Pengawal Revolusi). Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah dengan kekuatan senjata menindas umat Islam Libya yang menginginkan hidup di bawah naungan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Begitu vitalnya peran Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah dalam menjalankan, mengontrol, dan mengawal sistem hidup jahiliyah taghut Libya ini, sehingga Qaddafi sendiri mengakuinya sebagai NABI ABAD MODERN, era pemerintahan rakyat pasca era monarchi.

Dalam pidatonya di auditorium al-Umm kota Benghazi pada tanggal 7 Juni 1990, Qaddafi mengatakan: “Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah adalah nabi masa kini, masa republik. Ia benar-benar adalah nabi. Nabi masa republik adalah Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah, namun mereka sulit membenarkannya.”

Maha Benar Allah Yang telah berfirman,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah atau orang yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al-An’am (6): 93)

Bersambung, insya Allah…

(muhib al-majdi/arrahmah.com)

Sumber

12.42 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Labels

Recently Commented

Recently Added