|

Bangkitlah Maduraku

Setiap kali hujan, pasti setelahnya akan ada cahaya matahari yang bersinar. Cahaya matahari itulah yang dirasakan pulau Madura ketika mereka melihat perkembangan -khususnya dari segi pendidikan dan kebudayaan-  masyarakat Madura saat ini. Dalam beberapa dekakde terakhir ini, Madura sudah banyak menghasilkan beraneka ragam buah manis yang mampu mengharumkan dan menggetarkan nama bangsa dan negara. Madura mulai banyak melahirkan generasi-genarasi  intelek yang bisa bersaing di kancah internasional; baik di bidang ilmu sains ataupun agama. Dan, ini merupakan langkah awal yang positif untuk membuktikan pada dunia  bahwa Madura bukan sekedar pulau yang hanya identik dengan nilai kekerasan, kolot, primitif dan lain sebagainya. Namun, Madura juga mampu melahirkan generasi-genarasi muda yang memiliki potensi dan kapasitas mumpuni.

Min-plus akan selalu bergandengan dan silih berganti, karena itu sudah menjadi hukum alam. Bukankah kita sering menemukan kata as-Sayyiah dan al-Hasanah dalam al-Qur’an ataupun Hadist selalu bergandengan dan bersamaan? Hal itu mengindikasikan bahwa dimanapun tempatnya, sedalam apapun pulaunya; keburukan dan kebaikan pasti selalu ada, kesedihan dan kegembiraan akan selalu hadir dalam kehidupan kita. Kalau  hari ini keburukan sedang bergejolak, mungkin besok kebaikan akan nampak menyeruak. Kalau saat ini kita berduka, mungkin nanti kita akan bersuka ria. Kalau dulu, suku Madura terkenal   dengan gaya bicaranya yang blak-blakan, sifatnya yang temperamental, keras, primitif, kolot  dan mudah tersinggung, maka sekarang saatnya bagi Madura untuk menunjukkan identitas dirinya pada dunia bahwa ia juga termasuk pulau yang kaya akan prestasi dan mampu bersaing di kancah internasional. Hidup Madura…!

Contoh kecil saja, dan masih aktual di benak kita, yang menggambarkan perkembangan pendidikan di Madura antara lain: keberhasilan yang dicapai 12 siswa asal Madura, Jawa Timur dengan memperoleh medali perunggu dalam event World Mathematics Team Championship (WMTC) 2011 yang digelar 2-6 November di Beijing, China. Kedua belas siswa tersebut adalah:  Misbahul Anwar dan Khairul Umam (MA Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan), Ahmad Hudah, Ahmad Zainuddin, Ega Bandawa Winata (MTs Unggulan Bustanul Ulum, Waru Pamekasan), Zaky Firmawan el Hakim dan Ahmad Syauqi (MTSN Sumber Bungur, Pamekasan), Wildi Fachrizal (SMP 5 Pamekasan), Khansa al Faizy (SMP 1 Pamekasan), Muhammad Taufiq Hakiki dan Rafika Nurmasari (RSBI SMAN 1 Sumenep) dan Prima Sultan Hudiyanto (SDBI Lawangan Daya, Pamekasan).

Sebelumnya, ada empat siswa Madura, tiga diantaranya berasal dari pamekasan; Akhmad Ramadhan Yamin asal SMPN 2, Astrid asal SDN Pamekasan dan Prima asal SD Lawangandaya II, dan Diah Nisa Rahmani, siswi SMP Al Itihad, Camplong Sampang yang mampu mengharumkan nama Indonesia dengan menjuarai Olimpiade Matematika tingkat internasional sebagai juara umum pada ajang Olimpiade  Wizard at Mathematics International Competition (WIZMIC) yang diselenggarakan oleh City Montessori Inter Collage RSDO Campus, di Lucknow, India. Serta masih banyak prestasi-prestasi lainnya yang diraih anak-anak Madura saat ini, baik di bidang pengetahuan agama maupun sains.

Tentu tidak akan pernah terhapus dari memori kita tentang tragedi carok massal yang menimpa masyarakat Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar, Pamekasan-Madura, Jawa Timur. Yang pada waktu itu (Rabu, 12 Juni 2006) ceceran darah mengarah ke lahan seluas setengah hektar di pojok kampung. Sepetak ladang tembakau yang hancur berantakan. Bekas telapak kaki warga bercampur aduk dengan dedaunan bahan baku rokok dan rata dengan tanah. Sebagian ada yang ditutup daun pisang, ada pula yang disaput tanah, sebagian lagi hitam terbakar matahari. Petarung ini berasal dari dua kubu yang berseberangan; yaitu pendukung Haji Mursyidin, Kepala Desa Bujur Tengah, berhadapan dengan massa yang dipimpin Haji Baidlowi, bekas klebun (kepala desa) setempat. Tujuh orang tewas, termasuk Mursyidin. Ini merupakan bagian dari fenomena “kekerasan” yang terjadi di Madura.

Sementara di tempat yang berbeda, Andi Oktavian Latif, seorang fisikawan muda asal SMAN 1 Pamekasan-Madura sedang menikmati keberhasilannya dalam meraih medali emas pada Olimpiade Fisika tingkat internasional yang digelar di Singapura pada tahun yang sama, tahun 2006. Serta dua siswa SMAN 1 Pamekasan lainnya; M Sahibul Maromi dan Ali Ihsanul Qauli yang juga menunjukan prestasinya sebagai peraih medali perunggu pada Olimpiade Fisika tingkat Asia yang dilaksanakan di Bangkok, Thailand. Jadi, tidak heran jika carok massal yang terjadi di Desa Bujur Tengah pada waktu itu menjadi perbincangan masyarakat seluruh dunia. Karena pada waktu yang bersamaan, Kacong Madhureh (Anak Madura) mampu mengharumkan nama Indonesia dengan meraih medali emas pada ajang Olimpiade Fisika tingkat internasional di Singapura. Bahkan saat diwawancara, Andi sempat dilempari pertanyaan seputar carok massal yang terjadi di tempat dia dilahirkan, pulau Madura.

Kata carok berasal dari bahasa Madura yang berarti “bertarung dengan kehormatan”. Carokmerupakan tradisi pembunuhan di Madura yang disebabkan oleh alasan tertentu. Biasanya alasan-alasan ini berhubungan dengan harga diri yang diikuti antar kelompok atau antar klen dengan menggunakan senjata yang disebut ‘celurit’. Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini, karenacarok sendiri merupakan tindakan kriminal dan melanggar hukum. Yang seperti ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah pelik yang sedang dihadapi. Biasanya, carok merupakan jalan terakhir yang ditempuh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan kehormatan / harga diri seseorang (sebagian besar juga disebabkan karena masalah perselingkuhan dan atau yang menyangkut harkat martabat/kehormatan keluarga).

Banyak yang menganggap carok sebagai tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama. Ironisnya, meskipun suku Madura sendiri secara umum kental dengan nuansa agamisnya, tetapi ketika kita perhatikan lebih luas lagi, masih banyak masyarakat Madura yang memegang tradisi carok ini. Mungkin hal ini lebih disebabkan karena masyarakat Madura sangat menyunjung tinggi nilai sebuah kehormatan, martabat atau harga diri. Karena bagi mereka, harga diri merupakan hal yang sangat urgen dalam menjalani kehidupan yang ada. Bahkan, dalam bahasa Madura dikenal sebuah peribahasa yang berbunyi, “Lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada hidup menanggung malu (putih mata). Sifat seperti ini yang kemudian mendarah daging dalam diri seorang maduranis, sehingga untuk mempertahankan prinsip tersebut lahirlah yang dikenal dengan “tradisi carok” pada masyarakat Madura.

Setiap ada carok pasti ada celurit. Sehingga carok dan celurit bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Keduanya muncul di kalangan masyarakat Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 Masehi. Dan carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan) mereka di depan penjajah.

Merujuk pada catatan sejarah, pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat itu dipimpin oleh Prabu Cakraningrat dan pada abad 14 pemerintahannya berada di bawah pemerintahan Joko Tole. Pada kedua masa ini, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud, putra Sunan Kudus, di abad ke-17 M belum ada istilah carok. Budaya yang ada dan dikenal pada waktu itu hanya membunuh seseorang layaknya kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Sedangkan senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.

Baru pada zaman penjajahan Belanda, yaitu abad ke-18 M, munculah budaya carok. Bermula dari tertangkapnya Pak Sakera serta dijatuhi hukuman gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Sejak saat itu, masyarakat jelata mulai berani melakukan perlawanan terhadap penjajah yang merampas harta dan tanah mereka. Dan, senjata yang mereka gunakan adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.

Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari kalau sebenarnya mereka sedang dihasut  dan diadu domba oleh Belanda. Mereka diadu domba dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda pada waktu itu, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan Blater yang seringkali melakukan carok. Pada saat itu, mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang biasa digunakan masyarakat Madura zaman dahulu, tetapi beralih menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.

Senjata celurit ini sengaja Belanda beri kepada kaum Blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan Agama Islam. Celurit digunakan Pak Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.

Rupanya, upaya Belanda tersebut  berhasil merasuki sebagian pola pikir masyarakat Madura, yang kemudian mendarah daging bahkan beralih menjadi filsafat hidup mereka. Setiap ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah dan sebagainya selalu menggunakan “langkah bijak” dengan carok; tak lebih demi menjunjung harga diri dan kehormatan. Tidak heran jika terjadi perselingkuhan dan perebutan tanah yang dilakonkan oleh orang Madura; baik di Madura, Jawa atau Kalimantan, selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun massal. Dan senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.

Kondisi semacam itulah yang membuat masyaratkat non-Madura berasumsi bahkan mengecam orang
Madura adalah sekelompok masyarakat yang hobi carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau melakukan aksi pembunuhan selalu menggunakan celurit. Sehingga wajar, jika perempuan-perempuan non-Madura merasa enggan dan takut kalau didekati oleh laki-laki Madura.

Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Ada banyak masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, cerdas dan sebagainya. Mereka biasanya berasal dari kalangan masyarakat santri. Mereka merupakan keturunan orang-orang zaman dahulu yang melawan Belanda. Hal ini dapat direpresentasikan dengan budaya-budaya masyarakat Madura  dalam bersosial dan berintraksi antar sesama suku Madura atau non Madura. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai kemanusian; seperti tolong menolong, saling menghormati dan gotong royong, juga prestasi-prestasi masyarakat Madura yang diperoleh  saat ini.

Selain fenomena di atas, masih banyak cerita tetang Madura dan keunggulan masyarakatnya di berbagai bidang; baik yang berhubungan dengan kekerasan (budaya carok)  atau yang berhubungan  dengan aspek pendidikan di Madura yang mulai berkembang maju.

Hidup Madura…!

Posted by EmThree on 22.20. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Bangkitlah Maduraku"

Leave a reply

Blog Archive

Labels

Recently Commented

Recently Added