FILSAFAT ILMU
FILSAFAT ILMU
1.1. Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu  philosophy, adapun istilah  filsafat berasal dari bahasa Yunani,  philosophia, yang terdiri atas dua  kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.
Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk.
Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001). Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara.
Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk.
Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001). Defenisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara.
Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan apa yang Anda lihat. Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.Menurut Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah yang dapat kita ketahui? 
Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika. 
b. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? 
Jawabannya termasuk dalam bidang etika. 
c. Sampai di manakah harapan kita? 
Jawabannya termasuk pada bidang agama. 
d. Apakah yang dinamakan manusia itu? 
Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika  hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa. 
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak. Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini.
1.2. Munculnya Filsafat Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel 
1.3. Klasifikasi Filsafat Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”. Filsafat Barat Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan  dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).  Beberapa tokoh dalam filsafat barat yaitu:  1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau  ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan. 
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga 7tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus. 3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.Filsafat Timur Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India Paris 
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274). 2. Aliran Iluminasionis (Israqi).  Didirikan oleh pemikir Iran 
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. 15 Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi Tahapan Ontologi (Hakikat Ilmu) ƒ Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? ƒ Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? ƒ Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) 
yang membuahkan pengetahuan?  
ƒ Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan 
yang berupa ilmu?  
ƒ Bagaimana prosedurnya? 
Epistimologi 
(Cara
Mendapatkan 
Pengetahuan)
ƒ Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya 
pengetahuan yang berupa ilmu?  
ƒ Bagaimana prosedurnya?  
ƒ Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan 
pengetahuan dengan benar?  
ƒ Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?  
ƒ Apa kriterianya?  
ƒ Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam 
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? 
Aksiologi 
(Guna 
Pengetahuan)
ƒ Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan? 
ƒ Bagaiman kaitan antara cara  penggunaan tersebut dengan 
kaidah-kaidah moral? 
ƒ Bagaimana penetuan obyek  yang ditelaah berdasarkan 
pilihan-pilihan moral?  
ƒ Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan 
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma 
moral/profesional?  
Sumber: Suriasumantri, 1993 16
 Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan 
jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan 
hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori 
pengetahuan  yang bersifat obyektif  akan memberikan jawaban  ”YA”. 
1.5. Sumber-Sumber Pengetahuan  
pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan 
pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman 
mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode 
deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide 
yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan 
ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia 
memikirkannya (idelisme).
 Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain 
yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan 
tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. 
Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan 
kepada manusia. 
 Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi 
atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam 
sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis.  Bagi ilmu 
umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman 
empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan 
metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara 
apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu 
spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang 
diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya 
sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan  pengalaman 
intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh 
wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi. 17
 Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan 
obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi 
(the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan 
dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang 
tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini 
melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). 
 Masalah lainnya adalah munculnya disintegrasi pada tatanan 
klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu 
fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke 
pinggiran. Akibatnya  timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian 
agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud 
yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatik 
bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang 
anak didik untuk bertanya secara kritis. 
 Masalah lainnya yang muncul adalah menyangkut metodologi 
ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau 
eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti 
metode intuitif. Masalah terakhir adalah sul i tny a  mengint egr a s ik an  
i lmu d an  agama   t e ru t ama   indr a ,   int ektu a l  d a n  intui s i   s ebaga i  
penga l aman l egi t  ima t e d an  r i i l  d a r i  manus i a .  
1.6. Sejarah Perkembangan Ilmu 
A. Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting 
dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi 
perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat 
mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti 
gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena 
alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan 
kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam 
tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas 
alam yang terjadi secara kausalitas.  18
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam 
adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal 
usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena 
air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah 
menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi 
ini juga berada di atas air.  
Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang 
mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan 
aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi 
dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi 
lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam 
alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu 
sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan 
adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur 
bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. 
Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak 
terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim 
Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang mesir 
(Rowston, dalam Kartanegara, 2003).  
Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang 
memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum  sofis ini 
memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai 
kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah 
ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 
SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. 
Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran 
kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan 
sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. 
Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum  sofis.
Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada 
manusia.19
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat 
Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah 
perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang 
sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid 
Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat 
bahkan sudah ada di alam idea.  
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles  
(384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, 
matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada 
analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya  silogisme terdiri 
dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan 
dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.  
B. Zaman Islam  
Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, 
tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan 
sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama mereka. 
Periode antara 750 M dan 1100 M adalah abad masa keemasan dunia 
Islam. Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada 
mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab Peripatetik.
Al Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan 
cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan 
Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First, dan Second Analysis
telah diterjemahkan Al Farabi ke dalam bahasa Arab. Al Farabi telah 
membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun 
induktif. Di samping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama 
ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan 20
sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al Farabi 
diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar Guru Pertama diberikan kepada 
Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah 
usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah memberikan 
defenisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada 
zamannya. Al Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu: 
logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih 
(hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa, 
gramatika, sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu 
percakapan dibagi dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan 
yang benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair 
yang baik.  Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori 
dan diakhiri dengan syair (puisi). Matematika dibagi dalam tujuh bagian.  
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai 
pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu. 
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika 
dan politika. Perkataan  politieia yang berasal dari bahasa Yunani 
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil 
dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota 
kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah 
masyarakat sipil menjadi masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam 
ilmu fiqih dan imu ketuhanan/kalam (teologi). 
Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke 
dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul  De
Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam 
bahasa Latin berjudul  De Scientiis atau  De Ortu Scientearum. Buku ini 
mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al 
Farabi (w.950) terkenal dengan doktrin  wahda al wujud membagi 
hierarki wujud yaitu (1) dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang 
merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (2) para malaikat di 
bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain, (3) benda-21
benda langit (angkasa), (4) benda-benda bumi. Al Farabi memiliki sikap 
yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokohtokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi 
tujuan mereka adalah kebenaran.
Filosof lain yang terkenal adalah Ibnu Sina dikenal di Barat dengan 
sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai 
seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak 
ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan 
ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini 
kemudian menjadi buku teks (text book) dalam ilmu kedokteran yang 
diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas 
betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat 
suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat 
sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. 
Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit. 
Kitab lainnya berjudul Al Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di 
Barat dikenal dengan nama Avendauth Ben Daud) di Toledo. Oleh 
karena Al Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu 
Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika, dan  De Anima. Ibnu 
Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang 
bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoretis meliputi: matematika, 
fisika, dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi:  
politik dan etika.   
Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah potensi 
(mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri 
tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam 
yakni (1) obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi 
dan gerak (metafisik),  (2) obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan 
materi dan gerak (fisika), (3) obyek-obyek yang pada dirinya immateriel 
tetapi kadang melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika). 
Ibn Khaldun dalam kitabnya  Al Muqaddimah membagi 
metafisika dalam lima 
wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis
(tokoh yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan 
esensialis (tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).  
Berikutnya Ibn Khaldun membagi ilmu matematika ke dalam empat 
subdivisi yakni (1) geometri; trigonometrik dan kerucut, surveying tanah, 
dan optik. Sarjana muslim terutama Ibn Haitsam telah banyak 
mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler 
(2)Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar, aritmatika bisnis dan faraid
(hukum waris),  (3) musik, (4) astronomi. 
Dalam bidang ilmu mineral, dikenal karya Al Biruni yang 
berjudul Al Jawahir (batu-batu permata), selain itu pada abad ke-11 Al 
Biruni dikenal sebagai The master of observation di bidang geologi dan 
geografi karena Al Biruni berusaha mengukur keliling bumi melalui 
metode eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dan teori 
trigonometri. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi 
adalah 24.778,5 mil dengan diameter 7.878 mil. Tentu saja ini merupakan 
penemuan luar biasa untuk masa itu, dengan ukuran modern saja yaitu 
24.585 mil (selisih ± 139 mil) dengan diameter 7.902 mil.  
Dalam bidang ilmu farmakologi dan medis dikenal karya Ibnu 
Sina yakni  Al Qanun fi al Thibb dan  Al Hawi oleh Abu Bakr Al Razi, 
bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar yakni  Al Jami Li Mufradat Al 
Adawiyyah wa Al Aghdziyah, di bidang zoologi dikenal karya Al Jahizh 
yang berjudul  Al Hayawan dan  Hayat Al Hayawan oleh Al Damiri. Di 
mencitakan ratusan alat bedah yang sudah sangat maju untuk ukuran 
zamannya.
Filosof lainnya adalah Al Kindi, yang dianggap sebagai filosof 
Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al Nadhim mendudukkan 
Al Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam 
(natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai 
cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, 
logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai 
penerjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke 23
dalam bahasa Arab. Di samping sebagai penerjemah, Al Kindi menulis 
juga berbagai makalah. Ibnu Al Nadhim memperkirakan ada 200 judul 
makalah yang ditulis Al Kindi dan sebagian di antaranya tidak dapat 
dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al Kindi sangat masyhur 
di Eropa pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin ke dalam 
bahasa Latin di Eropa berjudul  De Aspectibus berisi uraian tentang 
geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron, dan 
Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya 
adalag filosof kenamaan Roger Bacon.  
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di 
Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang buku 
ilmu kedokteran berjudul  Colliget, yang dianggap setara dengan kitab 
Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof. 
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, 
yaitu: komentar besar, komentar menengah, dan komentar kecil. Ketiga 
komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Yahudi. 
Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam  Stagirite
karya Aristoteles dengan bahasa Arab dan memberikan komentar pada 
bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut 
Aritoteles sebagai  Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat 
yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd. 
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat 
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan 
yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemukapemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang 
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis.  
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan 
pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah El Ula  (First Philosophy).
Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan 
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis 
dan kurang bernilai  (Haeruddin, 2003). 24
C. Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern
Pada zaman modern paham-paham yang muncul dalam garis 
besarnya adalah rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Paham 
rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam 
memperoleh dan menguji pengetahuan. Paham idealisme mengajarkan 
bahwa hakikat fisik adalah jiwa, spirit. Ide ini merupakan ide Plato yang 
memberikan jalan untuk mempelajari paham idealisme zaman modern. 
Paham empirisme dinyatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita 
selain didahului oleh pengalaman. 
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan 
dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman 
yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap 
keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma, bersamaan dengan 
berkembangnya Humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan 
kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, 
Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya 
benua baru (1492 M) oleh Columbus 
untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, 
Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan 
Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan. 
Adanya penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo 
menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik 
balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat.
Bacon adalah pemikir yang seolah-olah meloncat keluar dari 
zamannya dengan melihat perintis filsafat ilmu. Ungkapan Bacon yang 
terkenal adalah  Knowledge is Power (Pengetahuan adalah kekuasaan). 
menghasilkan kemenangan dan perang modern,  kompas memungkinkan 
manusia mengarungi lautan,  percetakan yang mempercepat penyebaran 
ilmu.
Lahirnya Teori Gravitasi, perhitungan Calculus dan Optika 
merupakan karya besar Newton 
muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan lintas 25
lurus, apakah matahari yang menarik bumi atau antara bumi dan matahari 
ada gaya 
Teori Gravitasi memberikan keterangan, mengapa planet tidak 
bergerak lurus, sekalipun kelihatannya tidak ada pengaruh yang memaksa 
planet harus mengikuti lintasan elips. Sebenarnya, pengaruhnya ada, 
tetapi tidak dapat dilihat dengan mata dan pengaruh itu adalah Gravitasi, 
yaitu kekuatan yang selalu akan timbul jika ada dua benda yang saling 
berdekatan.
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu 
seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika. Di abad ke-9 lahir 
semisal farmakologi, geofisika, geormopologi, palaentologi, arkeologi, 
dan sosiologi. Abad ke-20 mengenal ilmu teori informasi, logika 
matematika, mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiologi, 
oceanografi, antropologi budaya, psikologi, dan sebagainya.  
D. China , India 
Peradaban India 
tinggi. Kontak Eropa dengan peradaban India 
sumber berbahasa Arab. Jelas terlihat matematika India 
bilangan dan perhitungannya yang telah mempengaruhi aljabar Arab dan 
melengkapi angka utama Arab. Tetapi ciri khasnya adalah pemikiran 
dengan kesadaran yang tinggi. 
Peradaban Cina, hingga zaman renaisans peradaban Cina jauh 
lebih maju dibanding Barat. Menurut Francis Bacon, Tranformasi masyarakat 
Eropa banyak berasal dari Cina seperti kompas magnetik, bubuk mesiu, 
dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang budinya 
kepada Cina. Kegagalan Cina dalam membuat perkembangan ilmu dan 
teknologi adalah  filsafat yang ada lebih berlaku praktis ketimbang 
prinsip-prinsip abstrak, filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi 
harmonis dan organis serta pedagang sebagai kelas yang tidak dapat 
dipercaya, sehingga ciri renaisans yang terjadi di Eropa tidak terjadi di 
Cina.26
Peradaban Jepang selama beberapa abad terimbas dari kultur 
Cina. Pada awal abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu dari 
pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Awal abad ke-19 
memutuskan berasimilasi ke bangsa luar dan melaksanakan dengan 
sungguh. Saat ini satu sisi Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi 
akan tetapi tetap mengikuti tradisi sosial yang kuno seperti bangsa Cina.  
1.7. Ilmu dan Moralitas  
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah 
moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar 
mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-
1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang 
akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 
abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa.
  Moral  reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku 
manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi 
standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk 
mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya. 
 Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan 
moral individu ada 3 tahap yaitu: 
1. Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanakkanak.
a. Punishment and  obidience orientation: alasan seseorang patuh 
adalah untuk menghindari hukuman. 
b.   Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan 
benar karena memperoleh imbalan atau pujian. 
2. Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai 
dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu 
kelompok tersebut. 
a. Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku 
baik untuk memenuhi harapan dari kelompoknya yang menjadi 27
loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti keluarga dan 
teman.
b.   Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas 
seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok 
masyarakat atau negara. 
3.   Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja 
nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat 
situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. 
a. Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orangorang memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering 
bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam mencapai 
konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar. 
b.   Universal ethical principles orientation. Orang memahami 
bahwa suatu tindakan dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip 
moral yang dipilih karena secara logis, komprehensif, universal, 
dan konsisten. 
1.8. Sarana Ilmiah  
Dalam berpikir untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah, tentu 
tidak terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana ilmiah dimaksud meliputi 
beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan logika. Hal ini 
mempunyai peranan sangat mendasar bagi manusia dalam proses berpikir 
dan mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.  
Bahasa merupakan suatu sistem yang berstruktur dari simbolsimbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh para anggota 
sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Unsur-unsur 
yang terdapat di dalamnya meliputi: simbol-simbol vokal arbitrer, suatu 
sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer dan yang 
dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat 
bergaul satu sama lain. Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk 
menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada orang lain, baik 
pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Hal ini 
disebut bahasa ilmiah, tentu beda dengan bahasa agama yaitu kalam ilahi 28
yang terabadikan ke dalam kitab suci dan ungkapan serta perilaku 
keagamaan dari suatu kelompok sosial.
Matematika sebagai bahasa yang melambangkan serangkaian 
makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Fungsi 
matematika hampir sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan 
dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika merupakan ilmu 
deduktif yang memiliki kontribusi dalam perkembangan ilmu alam 
maupun ilmu-ilmu sosial.
Statistik mengandung arti kumpulan data yang berbentuk angkaangka (data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu (penelitian 
ilmiah), baik berupa survei atau eksperimen, dilakukan lebih cermat dan 
teliti dengan menggunakan teknik-teknik statistik. Statistik mempunyai 
peranan penting dalam berpikir induktif, jadi bahasa, matematika, 
statistik memiliki peranan yang sangat mendasar dalam berpikir logika 
dan tidak dapat terlepas satu sama lain dalam berbagai bidang aspek 
kehidupan ilmiah manusia.  
Logika merupakan sarana berpikir sistematis, valid, cepat, dan 
tepat serta dapat dipertanggungjawabkan dalam berpikir logis dibutuhkan 
kondisi-kondisi tertentu seperti: mencintai kebenaran, mengetahui apa 
yang sedang dikerjakan dan apa yang sedang dikatakan, membuat 
perbedaan dan pembagian, mencintai defenisi yang tepat, dan mengetahui 
mengapa begitu kesimpulan kita serta menghindari kesalahan-kesalahan. 
A. Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer 
yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk 
berkomunikasi. Bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbolsimbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu 
kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Perlu diteliti setiap 
unsur yang terdapat di dalamnya. Dengan kemampuan kebahasaan akan 
terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia 
baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang 
menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”.  29
Secara umum dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa adalah: (1) 
Koordinator kegiatan-kegiatan masyarakat. (2) Penetapan pemikiran dan 
pengungkapan.(3) Penyampaian pikiran dan perasaan. (4) Penyenangan 
jiwa.(5) Pengurangan kegoncangan jiwa.  
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam 
proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat 
komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang 
lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. 
Dengan kata lain, kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat 
dengan bahasa. Bahasa ilmiah adalah bahasa yang digunakan dalam 
kegiatan ilmiah. 
B. Matematika
Banyak sekali ilmu-ilmu sosial sudah mempergunakan matematika 
sebagai sosiometri,  psychometri, econometri, dan seterusnya. Hampir 
dapat dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi 
bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.  
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, 
maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. 
Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan 
logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir 
deduktif, sedangkan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir 
induktif. 
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian 
makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambanglambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah 
sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya 
merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
1. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Nama ilmu deduktif diperoleh 
karena penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari 
atas pengalaman seperti halnya yang terdapat di dalam ilmu-ilmu 
empiris, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi (penjabaranpenjabaran).30
2. Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Sosial  
Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih 
ditandai dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk 
penghitungan dan pengukuran, di samping hal lain seperti bahasa, 
metode, dan lainnya. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki 
obyek penelahaan yang kompleks dan sulit dalam melakukan 
pengamatan, di samping obyek penelaahan yang tak berulang maka 
kontribusi matematika tidak mengutamakan pada lambang-lambang 
bilangan. Kita akan mempelajari sebuah kelompok sosial dengan 
informasi tertentu mengenai perasaan suka dan tidak suka di antara 
pasangan manusia. Sebuah grafik adalah suatu bahasa matematis 
yang mudah di mana kita dapat mengemukakan struktur semacam itu.
C. Statistik
Pada mulanya, kata “statistik” diartikan sebagai “kumpulan 
bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) 
maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai 
arti penting dan kegunaan besar bagi suatu negara”. Namun pada 
perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi pada 
kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.  
Dalam kamus ilmiah populer, kata statistik berarti tabel, grafik, 
daftar informasi, angka-angka, informasi. Sedangkan kata statistika 
berarti ilmu pengumpulan, analisis, dan klasifikasi data, angka sebagai 
dasar untuk induksi. 
Abraham Demoitre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau 
kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson 
menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut dari 
suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.  
Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan 
konsep regresi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan analisis statistika 
untuk data kualitatif Pearson menulis buku  The Grammar of Science
sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. Penelitian ilmiah, baik yang 
berupa survei maupun eksperimen, dilakukan lebih cermat dan teliti 31
dengan mempergunakan teknik-teknik statistik yang diperkembangkan 
sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan dari pengumpulan data statistik dapat dibagi ke dalam dua 
golongan besar, yang secara kasar dapat dirumuskan sebagai tujuan kegiatan 
praktis dan kegiatan keilmuan. Perbedaan yang penting dari kedua 
kegiatan ini dibentuk oleh kenyataan bahwa dalam kegiatan praktis 
hakikat alternatif yang sedang dipertimbangkan telah diketahui, paling 
tidak secara prinsip, di mana konsekuensi dalam memilih salah satu dari 
alternatif tersebut dapat dievaluasi berdasarkan serangkaian perkembangan 
yang akan terjadi. Di pihak lain, kegiatan statistika dalam bidang keilmuan 
diterapkan pada pengambilan suatu keputusan yang konsekuensinya sama 
sekali belum diketahui.  
Pengambilan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita 
kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang kita 
hadapi. Dalam hal ini statistika memberikan jalan keluar untuk dapat 
menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya 
sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan 
secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, 
yakni makin besar contoh yang diambil, maka makin tinggi pula tingkat 
ketelitian kesimpulan tersebut.
Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, Matematika dan 
Statistika
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam 
seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir 
dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada 
orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan 
gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu, 
penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan 
logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam 
berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam 
berpikir induktif. Jadi keempat sarana ilmiah ini saling berhubungan erat 
satu sama lain.  32
Peranan Statistika dalam Tahap-Tahap Metode Keilmuan  
Statistika merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh 
pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut metode, 
sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam 
mempergunakan pikirannya, tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya. 
Statistika diterapkan secara luas dalam hampir semua 
pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Statistika diterapkan 
dalam penelitian pasar, penelitian produksi, kebijaksanaan penanaman 
modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, 
ramalan ekonomi, auditing, pemilihan risiko dalam pemberian kredit, dan 
masih banyak lagi.
D. Logika
Logika berasal dari bahasa latin yakni Logos yang berarti 
perkataan atau sabda. Dalam bahasa arab di sebut Mantiq. Logika adalah 
sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan 
berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu. Logis 
dalam bahasa sehari-hari kita sebut masuk akal.  
Kata Logika dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. 
Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dianggap sebagai perintis lahirnya 
logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan 
kaum Stoa. (Russell, dalam Mundiri 2006). Aristoteles meninggalkan 
enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon. Buku itu 
terdiri dari Categoriae (mengenai pengertian-pengertian) De 
Interpretatiae (keputusan-keputusan), Analitica Priora (Silogisme), 
Analitica Porteriora (pembuktian), Topika (berdebat) dan De Sophisticis 
Elenchis (kesalahan-kesalahan berpikir). Theoprostus  kemudian 
mengembangkan Logika Aristoteles dan kaum Stoa yang mengajukan 
bentuk-bentuk berpikir yang sistematis (Angel, dalam Mundiri 2006). 
Logika dapat di sistemisasi dalam beberapa golongan: 
1. Menurut Kualitas dibagi dua, yakni Logika Naturalis (kecakapan 
berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia) dan 33
Logika Artifisialis (logika ilmiah) yang bertugas membantu  
Logika Naturalis dalam menunjukkan jalan pemikiran agar lebih 
mudah dicerna, lebih teliti, dan lebih efisien. 
2. Menurut Metode dibagi dua yakni Logika Tradisional yakni 
logika yang mengikuti aristotelian dan Logika Modern 
3. Menurut Objek dibagi dua yakni Logika Formal (deduktif dan 
induktif) dan Logika Material.
Dalam  permasalahan logika satuan proposisi terkecil yakni 
“kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur dalam membentuk 
pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan beberapa 
pengertian yakni  positif (penegasan adanya sesuatu),  negatif (tidak 
adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat 
keseluruhan tapi tak banyak),  singular (mengikat sedikit/terbatas), 
konkret (menunjuk sebuah benda),  abstrak (menunjuk sifat, keadaan, 
kegiatan yang terlepas dari objek tertentu),  mutlak  (dapat difahami 
sendiri tanpa hubungan dengan benda lain),  relatif (dapat difahami 
sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak bermakna. 
Selain itu kata juga dilihat berdasarkan predikatnya. 
Selanjutnya adalah defenisi. Defenisi adalah karakteristik 
beberapa kelompok kata. Karakteristik berarti melihat jenis dan sifat 
pembeda. Jadi mendefenisikan berarti menganalisis jenis dan sifat 
pembeda yang dikandungnya. Agar membuat defenisi terhindar dari 
kekeliruan ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan yakni: (a) defenisi 
tidak boleh luas atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefenisikan  
(b) tidak menggunakan kata yang didefenisikan (c) tidak memakai 
penjelasan yang justru membingungkan (d) tidak menggunakan bentuk 
negatif.
Klasifikasi adalah pengelompokan barang yang sama dan 
memisahkan dari yang berbeda menurut spesiesnya. Ada 
membuat klasifikasi yakni Pembagian (logical division) dan 
Pengolongan.
 Posted by EmThree 
										 on 02.19. Filed under
		
										 Posted by EmThree 
										 on 02.19. Filed under